oleh : hasan abadi kamil
Pernah dalam fikiran ini terlintas ide yang hadir begitu saja : Bagaimana kalau saya jadi seorang guru?
Tetapi hal itu mudah difikirkan dan diucapkan namun hampir mustahil untuk dilaksanakan. Kalau ditanya alasannya, cukup banyak untuk mementahkannya : ketuaan, pendidikan tidak mendukung, tidak ada kesempatan dan memang ada yang mau?
Kalau saya jadi guru maka saya akan memilih sebagai guru sejarah (plus kimia, karena pendidikan formal terkahir saya adalah sarjana kimia).
Saya akan mengajarkan sejarah seperti saya menyukainya. Saya akan berikan buku – buku referensi sebagai bahan pengayaan di luar bahan resmi dari pemerintah untuk sejarah. Malah beberapa referensi tersebut berupa novel dan kumpulan puisi. Tentu menyenangkan bukan kalau belajar sejarah seperti membaca novel yang tak dilepas sampai halaman terakhir. Dan sangat keren ketika beberapa bait puisi kamu tuliskan ulang di buku atau di tembok – tembok.
Beberapa buku karangan Soe Hok Gie akan saya rekomendasikan untuk dibaca. Buku karangan Bung Karno, Bung Hatta dan Tan Malaka tidak lupa saya sertakan. Beberapa novel Pramoedya dan Muchtar Lubis, tidak lupa untuk dibaca. Carilah seluas – luas ilmu agar cakrawalamu terbentang tanpa batas.
Pembelajaran juga tidak hanya dilakukan dengan hanya di dalam kelas dan duduk dengar catat hapal saja. Saya akan minta mereka mementaskan ulang bagian dimana Bung Tomo pidato berapi – api membakar semangat juang rakyat Surabya, diskusi yang terjadi dalam kongres pemuda pemuda, menuliskan surat – surat yang pernah ditulis Ibu kita Kartini dan lain – lain. Mereka saya ajak juga untuk mengunjungi museum, bertemu dengan tokoh saksi sejarah dan situs dimana sejarah ditorehkan. Mereka juga diminta memainkan juga beberapa lagu dan puisi yang terkait yang tidak hanya melulu Chairil Anwar dan Ismail Marzuki, tapi darah juang sampai puisi-nya Widji Tukul. Ingatlah sejarah itu bukan kumpulan tanggal dan nama orang yang harus dihapal untuk memperoleh nilai bagus. Tapi dengan sejarah mereka bisa belajar kesalahan bangsa ini dan tidak mengulanginya lagi. Karena sejarah akan terus berulang.
Selain itu sebagai seorang pendidik, saya akan mendorong murid – murid saya untuk mengimplementasikan apa – apa yang dipelajari di dalam kelas. Mengadakan pentas seni, demo kecil – kecilan serta serangakaian tindakan nyata akan terus didorong. Dari mulai gerakan mengumpulkan koin untuk pendidikan, buku dan baju bekas untuk yang tidak mampu, mengajukan suara pembaca di televisi dan koran – koran serta aksi – aksi nyata lain yang bisa dilakukan. Saya ingatkan kepada murid – murid saya, saya sedang mendidik kamu bukan mengajar kamu. Yang berubah tidak hanya fikiran dan rasa saja, tapi juga perilaku. Tapi saya tidak akan merubah mereka, karena mereka-lah yang akan merubahnya sendiri.
Terakhir, saya tidak akan pernah pelit memberi nilai. Angka minimal 7 (tujuh) sudah ada di tangan mereka asalkan rajin mengikuti pelajaran saya. Mendapatkan angka 9 (sembilan) kalau sudah bisa menganalisis dan menawarkan solusi dengan data yang akurat serta metode yang tepat. Dan mereka akan mendapatkan nilai 10 (sepuluh) kalau sudah bisa membuat sebuah perubahan, sekecil apa pun perubahan itu. Dan semua proses ujian dilakukan secara open book, boleh melihat buku sepuas – puasnya ; tidak perlu menghapal karena sejarah bukan untuk dihapal.
Kalau ada yang nyinyir melihat cara saya mengajar, mari kita buktikan cara siapa yang lebih mengena, karena selama ini pelajaran sejarah seperti sejarah itu sendiri : masa lalu yang harus dilupakan. Kalau ada yang geleng – geleng kepala melihat bagaimana memberi nilai, biarlah mereka mendapatkan nilai yang bagus di kelas, toh di masyarakat nanti mereka akan tahu nilai berapa yang mereka layak dapatkan sebagai bentuk pertanggungjawaban atas semua yang mereka pelajari. Biarlah waktu yang membuktikan. Dan kalau ada yang tertawa melihat semua tulisan ini, silahkan membuat tulisan yang memang membuat tulisan saya layak untuk ditertawakan.