Anak Guru Yang Tidak Mau Jadi Guru
oleh : hasan abadi kamil
Aku adalah seorang anak guru. Walau pun Bapak profesinya sebagai guru, aku tidak pernah bercita – cita menjadi guru. Aku fikir masih ada pekerjaan lain yang lebih baik dari pekerjaan ini. Aku tahu menjadi seorang guru itu banyak sekali manfaatnya, mendidik orang; menjadikan orang yang tidak tahu apa – apa menjadi tahu sesuatu. Namun untuk menjadi bermanfaat aku fikir masih ada cara lain.
Seseorang yang mulai menetapkan hati di sini harus menerima kenyataan hidup dalam keprihatinan. Karena apa – apa yang diterima setiap tanggal 5 (lima) setiap bulannya tidak mencukupi. Kami tidak pernah berfikir untuk mempunyai sesuatu atau membeli barang baru, karena untuk sehari – hari saja, Ibu harus gali lubang tutup lubang.
Beruntunglah anak – anak Bapak dikarunia kecerdasaan yang cukup sehingga bisa mengenyam pendidikan di sekolah negeri, sehingga biayanya tidak terlalu berat.”Kalau masuk sekolah di swasta Bapak enggak bisa membiayai.” Begitu omongan Bapak setiap anaknya mau lulus sekolah dan naik ke jenjang berikutnya. Prestasi anak – anaknya di sekolah pun mampu membuat Bapak dan Ibu bangga, dan orang – orang di sekitanya menghargainya walau pun secara materi tidak bisa dibanggakan.
Untuk fasilitas berupa perumahan atau beras kantoran setali tiga uang dengan gaji bulannya. Kami bertahun – tahun hidup di rumah dinas yang kualitasnya kurang baik. Bangunannya mudah sekali rusak dan harus berdesak – desakan karena begitu kecilnya seperti keluarga kelinci.
Begitu juga dengan berasnya. Kata Ibu beras kantorannya cukup lumayan ketika menterinya dijabat oleh Bustanil Arifin. Setelah beliau diganti oleh Ibrahim Hasan jauh dari layak. Selain pera juga kotor. Ibu harus mencuci ekstra dan mencampur dengan beberapa gelas beras yang bagus agar beras kantoran tersebut bisa kami makan.
Menjadi seorang guru harus penuh dengan keikhlasan dan kejujuran. Kedua hal ini yang terasa berat. Kalau semuanya menghimpit sampaibegitu sesak, maka tak ada lagi bersisa. Kalau tidak tahan seorang guru bisa mengambil jalan pintas. Baik itu kecil – kecilan maupun kelas kakap. Mulai dari mewajibkan bayar biaya gandaan bahan ajar, bonus dari penerbit karena ”mewajibkan” buku teks ke murid – murid, mengambil kelebihan uang seragam sampai menyunat uang bangunan. Alhamdulillah, aku yakin Bapakku tidak ikut – ikutan seperti itu. Kalau memang iya, kami tidak hidup seperti ini.
Kini setelah anak – anak Bapak dan Ibu menjadi orang, mereka bisa menempati rumah sendiri setelah menjalani pindah – pindah rumah sebanyak 14 kali dalam hidupnya. Dan semua ini berkat anak – anaknya.”Serasa mimpi, kita punya rumah.” Begitu kira – kira ucapan Ibu ketika menempati rumah miliknya sendiri. Kini mereka bisa tenang di sisa akhir hidupnya.
Memang benar seorang guru itu disebut pahlawan tanpa tanda jasa. Bahkan lebih tepatnya adalah pahlawan yang terlupakan. Bagi mereka sudah cukup senang dan bangga kalau mengetahui ada anak – anak muridnya yang bisa menjadi orang dan mencapai pangkat tinggi. Tak pernah terlintas untuk meminta ”imbalan” atas semua jasanya.
Mereka disebut pahlawan karena yang ada dalam genggaman mereka adalah nasib bangsa ini. Bangsa yang lebih baik esok ditentukan oleh kualitas anak – anaknya sekarang. Kalau para guru tidak bisa hidup layak sehingga tidak bisa mengabdi sepenuhnya, ditakutkan kualitas anak – anak sekarang memperihatinkan dan menghasilkan bangsa yang memprihatinkan.
Menjadi guru memang sebuah pengabdian, akan tetapi bukan berarti tidak bisa hidup semestinya; yang membuat aku sang anak guru memilih untuk tidak mengikuti jejak Bapak. Buat Bapak, para guru mudah – mudahan semua pengabdian kalian dibalas setimpal oleh Alloh di surga nanti. Dan mudah – mudahan profesi ini bisa menjadi profesi yang lebih layak sebagai pilihan hidup.
0 comments:
Post a Comment