oleh
: hasan abadi kamil
Ketika
saya ta'aruf dengan calon istri saya waktu (alhamdulillah sekarang
sudah menjadi istri saya) ada satu isu "sensitif" yang
dibahas : wanita/ istri bekerja.Dia ingin tetap bisa bekerja kalau
sudah menikah nanti. Karena itu sesuatu yang bisa didiskusikan untuk
saya, saya pun tidak keberatan. Catatan saya asal keluarga tidak
terbengkalai.
Dasar
pemikiran saya pada waktu, banyak kok yang ibunya bekerja tapi
anak-anaknya terdidik dengan baik; tidak aneh-aneh. Selain itu juga
ada juga yang ibunya tidak bekerja/ ibu rumah tangga anak-anaknya
tidak terdidik dengan baik.Ketika saya menikahi istri saya, dia
sedang menempuh S2 di FSRD-ITB. Sehingga di tahun pertama saya
mengalami PJKA. Pulang Jumat Kembali Ahad.
Setelah
setahun, dan kuliahnya tinggal tesis saja, dia pun ikut berkumpul
dengan saya di Tangerang. Dia tidak pergi begitu saja. Dia
meninggalkan pekerjaannya sebagai dosen di sebuah universitas swasta
di Bandung dan meninggalkan kesempatan menjadi PNS di kota kembang
tersebut. Sementara di Tangerang belum ada jaminan kalau dia bisa
bekerja lagi. Dia ingin berkeluarga secara utuh, tidak menjalani
hubungan long distance dan ingin menjadi seorang istri.
Mulailah
rutinitas sehari-hari : ngerjain tesis, ngurusi suami, bersih-bersih
rumah, mencuci dan memasak.Setengah tahun kemudian, di sela-sela
usahanya mengerjakan tesis, ada sebuah tawaran menjadi dosen di
sebuah universitas swasta di bilangan Meruya, Jakarta. Kebetulan
universitas tersebut baru membuka program studi arsitektur. Istri
saya yang berlatar belakang desain interior diterima sebagai tenaga
pengajar.
Mulanya
dia ditawari untuk menjadi dosen tetap. Lagi-lagi tawaran itu tidak
diterima dulu. Dia ingin jadi dosen luar biasa saja. Alasannya karena
waktu itu dia mempersiapkan diri untuk mempunyai anak/ belum
mempunyai anak. Selain di program studi arsitektur, dia juga diterima
di fikom-nya.
Setelah
lulus S2, beberapa bulan kemudian dia hamil. Selama mengandung dia
tetap menunaikan tugasnya sebagai dosen (sebagai candaan, anak kami
itu sudah lulus beberapa mata kuliah desain yang dibawakan oleh
ibunya). Lagi-lagi dia membuat sebuah pilihan yang tidak populer. Dia
memutuskan untuk berhenti dulu dari mengajar karena ingin fokus pada
anaknya. Mulailah dia menjalani peran sebagai ibu. Menyusuinya,
memandikannya, membersihkan "pup-nya" dan lain-lain.
Dia
begitu menikmati perannya sebagai ibu. Selain itu dia masih menolak
untuk adanya pembantu. Dia ingin memastikan anaknya terawat dengan
baik dengan tangannya sendiri. Apalagi di saat memasuki bulan ke-7
dimana anak kami mulai diberi makanan tambahan.
Ajaibnya,
anak kami tidak suka bubur bayi instan yang ada di pasaran (kalau
neneknya bilang sih "orang kampung"/ ndeso; sukanya nasi).
Istri saya bertambah kegiatannya. Membuat bubur bayi yang benar-benar
berkualitas. Berasny diblender/ dihancurkan, dicampur ati,
sayur-sayuran dan menungguinya selama proses memasaknya.Saya tahu
pilihan-pilihan yang dia ambil sekarang itu bukan pilihan populer di
saat sekarang. Apalagi dia lulusan S2 dari sebuah perguruan terbaik
di negeri ini (maaf bukan maksud untuk berbangga diri ).
Segala
yang sudah dia pilih dan dilakukan, kalau diekstrak hasilnya : dia
ingin anaknya sehat secara jasmani dan rohani, menjadi anak yang
sholeh dan pintar. Itu saja. Dan menurutnya, kalau ingin berkarir
lagi mungkin ada saatnya lagi atau bisa saja dia melakukan pekerjaan*
lain yang bisa dilakukan di rumah. Dan tulisan ini pun saya
persembahkan untuk dia.
Pernah dimuat di
http://gangdelima40.multiply.com dan di http://divansemesta.blogspot.com/2009/06/persembahan.html
0 comments:
Post a Comment