oleh : hasan abadi kamil
Dalam mencari jodoh, orang tua dulu memakai formula : BOBOT-BIBIT-BEBET. Formula ini dijadikan sebagai tolak ukur kelayakan calon pasangan.
"Bibit berarti pihak orang tua ingin memastikan bahwa sang calon menantu berasal dari sebuah keluarga baik-baik. Pengertian baik disini lebih kepada keluarga yang telah mampu memberikan pendidikan (yang diharapkan) terbaik bagi anak-anaknya. Pendidikan disini diharapkan tidak hanya bertumpu pada sisi akademis saja, tetapi juga dalam hal moralitas, begitu juga suri tauladan (yang diusahakan) terbaik dari pihak orang tua kepada anak-anaknya. Para orang tua jawa mempercayai bahwa anak yang baik adalah sebuah produk dari keluarga yang baik, dan bukan sebaliknya! Bebet adalah kondisi ekonomi bagi calon menantu, yang diharapkan juga bisa menanggung kehidupan rumah tangga mereka nantinya. Kondisi keuangan yang baik mutlak diperlukan bagi setiap calon mempelai yang akan segera membangun rumah tangga yang baru. Bobot, adalah konsepsi tentang kualitas yang dipertontonkan oleh sang calon menantu. Hal ini lebih berkaitan dengan kualitas dirinya sendiri sebagai manusia. Seberapa dalamkah ia sebagai manusia sudah mau belajar dan menjadi terpelajar karenanya." (dikutip dari www.keluargabahagia.com)
Dalam perkembangan ke sini, formula ini mungkin sudah jarang dipakai. Yang penting asal cinta (makanya ada istilah love is blind) mari kita melangkah, walau orang mau ngomong apa.
Dalam agama Islam pun punya formula tersendiri :
"Wanita dinikahi karena empat faktor, yaitu karena harta kekayaannya, karena kedudukannya, karena kecantikannya, dan karena agamanya, pilihlah yang beragama, agar berkah kedua tanganmu" [HR. Muslim]
Ketika blog ini sedang saya tulisi, saya mempunyai "ramuan tersendiri", selain faktor agama menjadi pilihan utama, ada lagi yang perlu dipertimbangkan yaitu faktor intelektualitas. Karena ini sulit diukur, paling gampang (walau pun tidak benar seluruhnya) adalah memperhatikan tingkat pendidikan. Kalau kitanya sarjana, coba cari sarjana, misalnya. Kalau lulusan ini, baiknya cari lulusan ini juga (maaf tidak bisa disebutkan eksplisit, karena ini SARU- Suku Agama Ras dan Universitas).
Alasan saya adalah, salah satu tujuan menikah adalah menghasilakn masyarakat yang baik. Inginnya setiap bertambah generasi, maka generasi itu semakin baik. Maka, saya berharap, anak-anak saya harus lebih baik dari orang tuanya, dalam semua aspek.
Anak-anak yang baik, dihasilkan dari rumah yang baik. Rumah yang baik bisa terwujud jika hubungan dan komunikasi suami dan istri baik-baik. Saya tersadar, ketika beberapa kali nonton Nany 911, ternyata kenakalan anak-anak, salah satu penyumbangnya adalah buruknya hubungan dan komunikasi kedua orang tuanya.
Komunikasi bisa terbangun, ketika gap level intelektualitas keduanya tidak terlalu jauh atau bisa ditolerir.
Dalam kehidupan sehari-hari, ada fakta sebagai begini :
Pada mulanya, si laki-laki memilih calon istri hanya lahiriah saja. Seiring usia pernikahannya, mereka pun dikaruniai beberapa anak. Karena gap yang terlalu jauh, seperti tidak mendapatkan "kepuasan intelektual" di rumah, si suami lebih suka kumpul dengan teman-teman di kantornya. Akhir cerita bisa ditebak, komunikasi diantara mereka berdua memburuk dan anak-anaknya bermasalah.
Atau dulu kakak perempuan saya pernah cerita, bagaimana betenya seorang suami, kebetulan kakak saya guru privat anaknya, yang hanya diajak diskusi soal infotainment dan sinetron oleh istrinya.
Namun ini hanya opini pribadi saya, terakhir kita kembalikan ke diri masing-masing, mana yang akan kita jalani.
Sesungguhnya yang benar itu datangnya dari Alloh SWT.
yang salah datangnya dari nafsu pribadi saya.
0 comments:
Post a Comment