oleh : hasan abadi kamil
Memanggil konsultan setiap ada masalah di pabrik adalah salah satu gaya perusahaan barat (baca Amerika). Berbeda dengan perusahaan Jepang dan Jerman.
"Bagaimana mungkin orang yang baru mengeliling pabrik beberapa jam, bisa mengetahui dan memecahkan persoalan." Begitulah dalilnya. Orang-orang yang ada di dalamnya yang lebih mengetahui pemecahan permasalahnnya dibandingkan orang luar. Makanya di perusahaan Jepang, digalakkan TQM berupa kegiatan QCC (Quality Control Circle - Gugus Kendali Mutu) dan SS (Suggestion System - Sumbang Saran). Seluruh karyawan dilibatkan dalam usaha-usaha perbaikan.
Dan kalau pun memanggil konsultan lebih dikarenakan ingin mengetahui suatu hal yang memang belum pernah dikerjakan di perusahaan.
Sebutlah DW, seorang konsultan di bidang engineering, pernah bercerita kepada saya, kalau dia harus mentraining tentang motor bakar ke para peserta. Padahal baru lulus kuliah teknik mesin di Bandung.
"Yang kacau mah pas, training ada Bapak-bapak nanya. Saya gak tahu jawabannya."
"Terus kamu jawabnya apa?" Tanya saya.
"Caranya saya tanya balik (maksudnya mengarahkan) lagi ke dia.Akhirnya dia menemukan sendiri jawabannya."
Saya dan dia tertawa.
Atau sebutlah Amang, seorang manager marketing di sebuah perusahaan keluarga miliknya. Dia pernah memanggil konsultan untuk membantu permasalah di departemen marketing. Maklumlah dia ingin meningkatkan kinerja marketing.
Yang dikirim oleh lembaga tersebut adalah para fresh graduate, baru pada lulus kuliah. Ngasih beberpa advice yang text book, theory based.
"Wah kalo begini mah, gw juga tahu." Katanya.
Akhirnya dia menghentikan konsultasinya.
Sebagai penutup, saya tidak anti konsultan, tetap dalam beberapa hal kami memanggil konsultan. Misalnya mau menerapkan ISO, kami perlu memanggil konsultan, karena diantara kami tidak ada yang mempunyai pengalaman mengimpelentasikannya. Namun yang kami cari adalah konsultan yang sekaligus praktisi. Jadi antara teori dan praktek lapangannya sama banyaknya.
0 comments:
Post a Comment