Work from home (WFH) |
Manusia itu memang tidak pernah puas; tempatnya berkeluh kesah. Dan memang rumput tetangga itu terlihat lebih hijau.
Di masa pandemik perusahaan tempat bekerja membuat kebijakan soal masuk kerja. Untuk frontline seperti beauty advisor (BA), distribusi, dan produksi harus work from office. Sedangkan yang di kantor pusat dan bukan front line boleh work from home. Untuk keperluan tertentu ada beberapa karyawan kantor pusat yang boleh masuk kantor. Itu juga dilakukan secara giliran.
Sebenarnya mungkin perusahaan ingin semuanya work from home, karena melihat ganasnya penyakit ini, namun apa ada daya roda perusahaan harus berputar harus ada yang work from office. Kalau tidak dari mana perusahaan bisa membayar gaji karyawannya. Cukup sudah dengan satu masalah kesehatan, jangan ditambahi dengan masalah bubarnya perusahaan karena tidak ada aktivitas produksi.
Jadi kalau ada yang dapat WFO dan WFH itu merupakan rejeki masing-masing. Manusia memang memang hanya melihat kepada orang lain, tidak melihat ke diri sendiri. Yang wfo merasa rekan-rekannya yang wfh penuh dengan kesenangan. Bekerja dari rumah, tidak harus masuk ke kantor atau pabrik. Dan yang wfh melihat begitu juga.
WFH itu enaknya di awal-awal saja. Tidak harus ke kantor, bertemu anak istri lebih lama, boleh pakai baju casul dan flexible time. Namun enaknya itu hanya sesaat saja setelah itu pun tiba.
Karena kita harus di rumah terus. Antara bekerja dan tidak bekerja sudah tidak jelas batasannya. Mau kerja tempatnya di situ mau tidak tempatnya di situ juga.
Terus kalau difikir-fikir karena dianggap bisa flexible time, waktunya disesuaikan malah jadi fleksibel kemana-mana. Malam masih kerja. Sabtu minggu masih kerja. Jadi kita tidak bisa lagi membedakan kapan waktu kerja kapan waktu tidak kerja. Dan yang paling sial adalah karena sering terlihat di rumah, bisa-bisa tetangga menganggapnya kita kena pengurangan karyawan karena pandemik.
0 comments:
Post a Comment