Di keluarga saya sepertinya pantang untuk mencela makanan. Setidaknya itu yang saya yakini. Saya pernah dimarahi abang tertua saya karena mencela makanan yang sedang dimakan. Saya pernah melihat abang ketiga saya dimarahi abang kedua saya karena dia bilang sayur tahu buatan Ibu seperti sayur tembok. Karena hal ini begitu lekat dalam ingatan, makanya saya hanya mengenal dua jenis makanan. Enak dan enak sekali.
Waktu kuliah saya punya seorang teman dekat. Hal yang tidak saya sukai darinya adalah kalau lagi makan sesuatu, dia akan membanding-bandingkan dengan makanan yang paling enak. Misalnya kalau kita makan nasi padang, maka dia akan bercerita nasi padang yang enak yang warungnya di simpang. Kalau kita makan martabak, dia akan bilang tukang martabak yang enak di mana. Dan dia suka menyarankan enaknya makanan itu sebaiknya "digimanakan".
Kalau menurut saya kalau sudah menyantap makanan enggak usahlah menyebut-nyebut yang lebih atau paling enak. Kita fokus saja saya yang dimakan. Kalau memang dirasa kurang enak ya enggak usah dimakan. Pada kenyataannya tidak. Yang di depan matanya saat itu tetap disantapnya.
Pernah satu kali, dia kena batunya. Suatu saat ada seorang kawan membeli makanan yang ada santannya (saya lupa makanan apa). Seperti biasa selain menceritakan yang lebih enak, dia menyarankan makanan itu diapain biar lebih enak."Enaknya nih dimakannya sama santan yang dingin," katanya sambil makan.
Teman yang membeli langsung membalas, "Oke Gua yang beli santannya, Lu yang beli kulkasnya ya. Biar dingin!"
Kontan teman saya ini langsung diam. Sambil tetap makan.
Baru-baru ini kejadian lagi hal ini. Ternyata memang banyak model-model orang seperti ini. Dalam sebuah acara pengajian, dilanjutkan dengan acara makan-makan. Kebetulan menunya adalah nasi kebuli. Nah orang yang bertugas mencari nasi kebuli tidak paham kriteria nasi kebuli itu seperti apa. Ketika dimakan, walau pun rasanya tetap enak, tetapi agak jauh dari yang disebut nasi kebuli. "Beruntungnya" ada seorang yang mengomentari nasinya. Dia bilang, nasi kebuli enggak seperti ini. Pake daging kambing. Bukan sapi. Yang enak belinya di sini dan seterusnya. Sambil bicara seperti itu dia tetap makan nasi yang menurutnya tidak memenuhi nasi kebuli. "Ya, kalau udah ada mah makan aja enggak usah ngomong macem-macem." Kata saya dalam hati. Terus kenapa ngomongnya baru sekarang, pas udah di mulut. Sebelum-sebelumnya waktu digulirkan beli nasi kebuli tidak berkomentar sama sekali. Orang memang lucu-lucu dan menggemaskan ya.
0 comments:
Post a Comment