Hari sudah menjelang sore. Suasana sebuah rumah kosan terlihat ramai seiring kembalinya para penghuni dari aktivitasnya masing-masing. Sebuah siulan lagu yang sudah tidak dikenali lagu aslinya meluncur dari salah satu kamar. Siulan ini meluncur dari mulut Agung seorang mahasiswa sebuah perguran tinggi di Bandung.
Selepas sholat ashar dia sudah rapih. Sedari tadi mematut-matut diri di depan cermin ukuran 20cm x 20 cm yg menempel di dinding kamar. Rambut lurusnya yang mulzi gondrong menutupi sebagian wajah ovalnya. Berkali-kali kaca mata minusnya ditiupi dan digosok-gosok oleh ujung kemejanya. Selesai digosok baru kaca mata itu hinggap di hidung yang tidak terlalu mancung. Terakhir jaket hijau tua, jaket himpunannya, melengkapi kemeja lusuh dan jins biru yang sudah menempel di badannya.
" I am ready",katanya dalam hati.
"Mana Gung?"Tanya sigit temen sekamarnya yang baru pulang kuliah.
"Mau ngajar privat."Jawab Agung masih melihat cermin.
"Ngajar privat tapi kayaknya semangat banget."
"Hari ini aku gajian bro hehehe."
"Wah makan-makan nih"
"Beres bro. Nanti malam aku beliin makan martabak pisang keju yang di pasar simpang."
"Sip."
"Gua cabut dulu ya."
" I am ready",katanya dalam hati.
"Mana Gung?"Tanya sigit temen sekamarnya yang baru pulang kuliah.
"Mau ngajar privat."Jawab Agung masih melihat cermin.
"Ngajar privat tapi kayaknya semangat banget."
"Hari ini aku gajian bro hehehe."
"Wah makan-makan nih"
"Beres bro. Nanti malam aku beliin makan martabak pisang keju yang di pasar simpang."
"Sip."
"Gua cabut dulu ya."
Dengan langkah mantap Agung berjalan menyusuri jalan yang lebih cocok disebut gang yang kanan kirinya diapit deretan rumah yang berdempetan. Lebar jalan yang hanya cukup untuk 1 kendaraan motor yang lewat tak mengurangi keceriaan Agung. Walau beberapa kali harus mengerem laju jalannya karena jalan yang padat. Tak lama kemudian, dia sudah sampai ke pasar Simpang Dago. Dengan mantap ia menanti angkot dengan jurusan Kebun Kelapa.
Murid privatnya tinggal dekat terminal Leuwi Panjang. Jadi untuk menuju ke sana dia harus naik 2 kali angkot dari pasar Simpang Dago. Mula-mula dia harus ke Kebon Kelapa. Dari Kebon Kelapa naik yang lewat terminal Leuwi Panjang.
Agung memeriksa saku celana jinsnya. Uangnya hanya cukup untuk satu perjalanan. Namun dia tidak khawatir karena hari ini dia mendapat bayaran untuk satu bulan mengajar privat.
Mengajar privat menjadi sumber penghasilan primadona mahasiswa seperti Agung. Dengan kemampuan yang mumpuni di bidang matematika, kimia dan fisika, ditambah lagi titel mahasiswa perguruan terbaik di Indonesia sebagai modal yang cukup untuk mengajar privat. Kalau mendapatkan murid yang baik hati, biasanya tak segan-segan bayarannya dilebihkan. Dan selalu disediakan makan malam sebelum kegiatan belajar dimulai.
Setelah sekian lama dalam perjalanan, Agung pun sampai ke komplek perumahan murid privatnya. Semakin dekat rumahnya semakin cepat langkahnya.
"Kok sepi ya?"Kata Agung ketika berada di depan rumah muridnya. Dia lihat pintu dan jendela tertutup rapat. Dia melihat dari luar yang dibatasi pintu gerbang tinggi yang tergembok kuat.
"Kok enggak ada info kalau jadwalnya batal." Buru-buru Agung merogoh handphone Nokia sejuta umat di saku jaketnya.
"Assalamu alaimum. Maaf Mas Agung hari ini privatnya libur dulu ya. Nenek di Cirebon meninggal." Sederet pesan singkat di hp-nya terbaca. Agung terdiam. Dia memukul-mukul kepalanya. "Kenapa aku enggak cek hp dulu."
Agung menengok kanan-kiri, pandangannya menyapu ke seluruh sudut. Sepi tak ada orang yang bisa ditanya. Dengan langkah gontai dia meninggalkan rumah muridnya. Dia bingung untuk kembali ke kosan. Karena dia sudah memiliki uang sama sekali di kantongnya.
Sambil berfikir bagaimana pulang, Agung menuju mushola di terminal Leuwi Panjang. Dia tunaikan sholat maghrib yang sudah berdekatan ke waktu sholat isya. Begitu dia salam terakhir, terdengar suara adzan sholat Isya. Dia pun ikut sholat isya bersama yang lain. Setelah itu dia berzikir dan berdoa. Doanya begitu khusyuk dan lama. Meminta pertolongan Alloh SWT agar bisa balik ke kostannya.
Dirasa sudah cukup mengadu, Agung bersiap-siap untuk pulang walau pun dia tidak tahu dari mana uang ongkosnya. Tak lama kemudian perutnya terasa melilit. Dia baru ingat belum makan dari tadi siang.
Di samping musholla terminal ada seorang pria tuna netra separuh baya. Sedari tadi dia tak henti-hentinya mengalunkan ayat-ayat suci Alquran dari mulutnya. Sementara di sebelah kanan dia duduk ada kaleng bekas cat setia menemani. Tempat itu siap menampung lemparan koin uang recehan dari orang-orang yang lalu lalang.
"Aku ada ide" kata Agung dalam hati. Walau pun dengan berat hati dia mulai menghampiri orang-orang yang sebagian besar calon penumpang yang sedang menunggu bis.
"Pak kasihan Pak. Saya enggak punya ongkos pulang." Agung mulai meminta belas kasihan. Orang yang pertama kali didatangi hanya mengangkat tangan. Dia tidak mau putus asa. Dia dekati yang lain.
"Maaf Bu saya Agung. Mahasiswa ITB. Saya kehabisan ongkos. Enggak bisa balik. Nanti saya kembalikan kalau sudah punya uang."Kata Agung sambil menunjukkan kartu tanda mahasiswa. Namun hasilnya sama, hanya tangan yang diangkat.
"Maaf Bu saya Agung. Mahasiswa ITB. Saya kehabisan ongkos. Enggak bisa balik. Nanti saya kembalikan kalau sudah punya uang."Kata Agung sambil menunjukkan kartu tanda mahasiswa. Namun hasilnya sama, hanya tangan yang diangkat.
Agung tidak mau menyerah, dia kembali meminta ke para calon penumpang lainnya. Setelah sekian jam berusaha tak ada satu pun yang menaruh belas kasihan kepadanya. Mereka nampaknya tidak percaya kalau Agung ini seorang mahasiswa dan memang benar-benar membutuhkan uang. Dia menyerah. Dia duduk di deretan bangku-bangku terminal yang mulai sepi.
Malam sudah terlalu malam. Agung mulai berfikir untuk menginap di terminal malam ini. Besok pagi dia akan mencari bantuan. Kalau tidak ada, maka dia berencana akan berjalan kaki dari Leuwi Panjang ke Dago.
Ketika dia baru merebahkan tubuhnya di bangku terminal sebuah sentuhan halus menggangu niat tidurnya.
"Mas, mau tidur di sini?"Kata seorang laki-laki seusia Agung sudah berdiri di sampingnya.
"Iya."
"Kenapa?"
"Saya kehabisan ongkos. Mencari pinjaman enggak dapat-dapat"
"Ooo. Kalau begitu sekarang ikut saya aja."
"Kemana?"
"Ke kontrakan saya."
"Mas, mau tidur di sini?"Kata seorang laki-laki seusia Agung sudah berdiri di sampingnya.
"Iya."
"Kenapa?"
"Saya kehabisan ongkos. Mencari pinjaman enggak dapat-dapat"
"Ooo. Kalau begitu sekarang ikut saya aja."
"Kemana?"
"Ke kontrakan saya."
Agung pun menurut saja. Baginya harapan tidur di kontrakan seseorang yang baru dikenal jauh lebih baik dari tidur di bangku terminal yang keamanannya belum tentu terjamin.
Setelah jalan berliku-liku akhirnya sampai di kontrakan orang yang baik hati ini. Kontrakannya ini berupa bangunan petak semi permanen. Begitu pertama kali masuk, ruangan ini hanya 3x3 tanpa berisi tempat tidur dan perabotan lainnya. Seisi kamar dihiasi gantungan baju dan barang - barang. Deretan piring dan alas kaki ada dekat pintu.
"Kebetulan teman-teman saya lagi pulang kampung. Mas bisa ikut tidur di sini."
Agung hanya mengangguk-angguk sambil melihat ke lantai.
"Eh siapa namanya Mas? Saya Ridwan."
"Agung."Agung dan Ridwan saling berjabatan tangan.
"Kebetulan teman-teman saya lagi pulang kampung. Mas bisa ikut tidur di sini."
Agung hanya mengangguk-angguk sambil melihat ke lantai.
"Eh siapa namanya Mas? Saya Ridwan."
"Agung."Agung dan Ridwan saling berjabatan tangan.
Tanpa dipersilahkan lagi Agung langsung merebahkan tubuhnya di lantai. Dan ia tidak butuh waktu lama untuk tidur. Tidurnya nyenyak di atas lantai. Satu dua nyamuk yang hinggap ditubuhnya dibiarkan menikmati darahnya tanpa gangguan.
Suara adzan subuh membangunkan Agung. Dia mencari Ridwan yang tidak ada di kamarnya.
"Mungkin ke masjid. Kenapa enggak ngajak-ngajak ya." Kata Agung dalam hati.
Agung pun bangkit dari posisinya. Dia ingin wudhu dan buang air kecil. Begitu keluar dari kamar yang tidak berkunci, matanya mencari-cari kamar mandi. Ternyata di ujung deretan rumah petak ada sebuah kamar mandi. Agung segera menunaikan hajatnya.
"Mas makan dulu Mas." Suara Ridwan terdengar ketika Agung selesai menunaikan sholat subuh.
Ridwan mendorongkan sepiring kue jajanan pasar dan segelas kopi panas.
"Maaf, cuma ini buat sarapan."
"Wah, ini juga sudah luar biasa sarapannya." Mereka berdua lalu asyik mengobrol sambil menikmati kue dan kopi panas di pagi yang masih dingin.
"Tadi kemana?"
"Ini ke rumah teman. Mau pinjam uang." Ridwan segera merogoh saku celananya. Dia keluarkan beberapa lembar uang
"Mas ini uang buat ongkos Mas Agung pulang."Ridwan menyerahkan beberapa lembaran uang lima ribuan dan seribuan. Semuanya lima belas ribu.
"Mas ini uang buat ongkos Mas Agung pulang."Ridwan menyerahkan beberapa lembaran uang lima ribuan dan seribuan. Semuanya lima belas ribu.
"Kemarin Mas cerita mau ke Dago ya. Setahu saya ongkosnya lima belasribuan. Dari sini ke Kelapa tujuh ribu. Dari Kelapa ke Dago delapan ribu. Betul kan yah?"
Agung tidak langsung menjawab. Dia hanya terdiam.
"Makasih ya. Nanti kalau saya sudah gajian, saya kembalikan."
"Ah enggak usah. Silahkan dimakan. Nanti keburu dingin." Ridwan kembali menawarkan untuk menikmati hidangan yang ada.
Agung kembali makan. Dia makan dengan lahap, dengan hati terharu. Dia berjanji akan melunasi hutangnya. Dan dia berjanji akan berbuat baik seperti orang yang berada di depannya.
#DWC30
#Squad 1
#Jilid 10
#Day24
#Squad 1
#Jilid 10
#Day24
0 comments:
Post a Comment