Wednesday, December 20, 2017

Kertas-Kertas Durjana

Di suatu malam di dalam sebuah rumah megah di pinggiran kota Jakarta. Di ruang tamunya yang luas, berkumpul para lelaki dan perempuan membentuk lingkaran. Mereka semua memandangi pria berumur yang mengenakan baju koko dan celana kain. rambutnya yang sudah memutih dibiarkan tanpa penutup kepala. Malam ini ada sebuah pembacaan surat wasiat dari seorang yang baru meninggal tadi siang. Pria yang berumur ini adalah teman dekat almarhum yang diminta untuk membacakan surat wasiatnya. Sepuluh pasang laki-laki dan perempuan merupakan anak dan menantunya.

Dimulai dengan batuk-batuk kecil, pria berumur itu mengeluarkan lipatan kertas dari saku baju kokonya. Dia buka lipatan kertasnya. Mulutnya bergerak perlahan tanpa suara membaca isi surat itu. Setelah itu dia langsung terdiam. Para hadirin masih menanti pria itu untuk bicara.

"Anak-anakku sekalian. Saya mau membacakan isi dari kertas ini. Ini adalah surat wasiat dari Bapak kalian."
Tak ada satu suara yang keluar. Semuanya hanya menatap sumber suara.
"Anak-anakku, ketika surat wasiat ini dibacakan, tentu Bapak sudah tidak hadir di antara kalian. Melalui surat ini Bapak mau berwasiat. Harta Bapak yang tersisa hanyalah rumah ini."

Belum selesai surat wasiat dibacakan, mulai terdengar gaduh. Bisik-bisik para ahli waris terdengar.
"Pak Imam, apa benar isi surat wasiatnya?"Seorang yang cukup dituakan berbicara. Dia adalah Yanto anak pertama. Pak Imam tidak menggubrisnya.
"Harta Bapak berupa tanah dan perusahaan beserta aset yang lain sudah tergadaikan untuk membayar hutang-hutang Bapak. Hal ini disebabkan oleh Bapak suka membeli kertas-kertas togel dan berjudi. Bapak berharap kalian tidak mengikuti. Sekarang silahkan kalian bagian warisan Bapak ini secara ketentuan agama."
Pak Imam, berhenti membacakan surat wasiat.
"Pak Imam apa benar, warisan bapak tinggal ini?"Tanya Yanto.
"Kalau menurut surat ini, betul Mas Yanto."
"Enggak mungkin!"Kata Yanto dengan nada pedas.
"Iya enggak mungkin." Yang lain ikut-ikutan menimpali.
"Saya hanya menjalankan amanah bapak kalian."

Setelah beberapa lama, Pak Imam mengeluarkan kertas berikutnya.
"Itu kertas apalagi?" Tanya yang perempuan. Namanya Titik. Dia anak kedua.
"Anak-anakku, Bapak mau menitipkan surat permohonan maaf untuk ibu kalian. Bapak yakin ibu kalian tidak hadir di pemakaman Bapak." Pak Imam membacakan isi sampul kertas itu.

"Ibu pasti tidak mau memaafkan."Kata Titik."Bapak telah selingkuh dengan perempuan itu."
Suasana kembali ribut. Pak Imam hanya terdiam, tanpa berusaha mendiamkan mereka. Anak-anak almarhum terus berbeda pendapat. Setelah sekian lama ribut satu persatu anak dan manantu meninggalkan ruang tengah itu.
"Pak Imam. Kami semua tidak bisa menjalankan permintaan Bapak."Kata Yanto mewakili saudara-saudaranya. Setelah itu mereka pergi. Masuk kamar atau ke ruangan lain meninggalkan Pak Imam seorang. Pak Imam hanya menggeleng-gelengkan kepala.

Ketika semuanya sepi Pak Imam mengeluarkan kertas yang lain. Dia membaca sejenak. Pak Imam kembali menggeleng-gelengkan kepala sambil tersenyum.
"Indra. Indra. Masih saja kau bercanda." Kata Pak Imam. Dia membeberkan lipatan kertas terakhir. Di situ tertulis.
"Anak-anakku, semua yang tadi Bapak katakan itu hanya rekaan Bapak. Tidak benar Bapak punya hutang. Tidak benar Bapak punya selingkuhan. Namun Bapak yakin ketika ini dibacakan oleh Pak Imam, kalian sudah tidak mau mendengarkan."



#DWC30
#Squad 1
#Jilid 10
#Day25
#Bertema#Kertas

0 comments:

Post a Comment