Monday, August 26, 2019

Senja Setiawan

"Senja Setiawan" adalah nama pengemudi ojek daring yang aku pesan. Ketika waktu sedang berganti dari kemarin menuju hari ini. Aku pun ingin bertanya:

Hai Senja, sepuitis apakah bapakmu sampai memberi nama Senja Setiawan?
Dan aku semakin ingin tahu, bagaimana ia melamar calon ibumu waktu itu?

Apakah dengan sajak Aku Ingin-nya Sapardi Djoko Damono atau Paman Doblang-nya W.S. Rendra?

Kesadaran adalah matahari
Kesabaran adalah bumi
Keberanian menjadi cakrawala
Dan perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata

Taklama dia datang, setelah mencari-cari titik dimana aku berada.

Namamu Senja, yang bagiku terasa lembut dan halus tetapi tidak dengan caramu berkendara.

Kamu seperti orang tidak punya pusat. Motormu terus melaju dengan kencang. Lampu lintas, kamu tebas. Rambu-rambu jalan kamu libas.

Ah, terlalu hiperbolis kata-kataku. Tapi kamu dua kali melanggar lampu merah. Dan aku merasa sepertinya kamu lupa dimana rem kamu berada. Motormu masih kencang, sampai aku sadar tujuanku sudah terlewat.

Namun kamu orang baik senja. Kamu mau putar balik dan mengantarku ke tujuan.
Kamu baik, kamu sebutkan ongkos yang sesuai tarif. Tidak dilebih-lebihkan.

Ketika, aku Tanya : orang mana, Mas?
"Bekasi Pak"

Kita sempat satu planet ternyata. Aku ini besar dan pernah lama tinggal di Bekasi.

Kulebihkan empat ribu dari tarif seharusnya kubayar, kuberi nilai bintang Lima, tapi tetap dikasih saran. Lain kali lebih hati-hati kalau membawa kendaraan. Mudah-mudahan Senja Setiawan membacanya.

Karena kamu orang baik sebaik namamu yang telah bapakmu berikan : Senja Setiawan.

Saturday, August 3, 2019

190803

Kebetulan hari ini saya telat sholat maghrib. Alasannya ada sesuatu yang tidak bisa ditinggalkan. Berjalanlah saya menuju mushola di basement.

Sampai di sana, mushola dalam keadaan kosong. Jamaah yang sholat maghrib sudah membubarkan diri dari tadi.

Karena (merasa) sendiri, saya dengan PD mengeraskan bacaan. Sambil mencoba membaca surah-surah di juz 30 yang baru dihapalkan.

Ketika rakaat pertama berjalan, setelah membaca alfatihah, datanglah seorang pria.Kalau dari tampilan sekilas, adalah seorang yang memiliki pemahaman agama yang baik  : berjenggot, memakai peci dan celana cingkrang. Di sini saya mulai goyah, saya takut hapalan saya yang baru-baru dirintis ada banyak salahnya.

Benar saja.Dia menepuk bahu saya, minta izin jadi makmum sholat maghrib. Suara bacaan saya semakin melemah. Surat As Syams yang saya baca, semakin tidak terkenal. Saya takut hapalan dan bacaan saya ada salahnya dan dikoreksi oleh orang yang baru saja menjadi masbuk.

Rakaat pertama berjalan dengan lancar. Saya memasuki rakaat kedua. PD saya bukannya bertambah malah mengendur. Hasilnya fatal saya membaca surat pendek yang sama seperti rakaat pertama. Menyadari kekeliruan saya saya langsung membanting stir dengan membaca Inna a toinna....kembali ke asal. Buyar semua hapalan surat-surat yang sudah saya rintis.