Monday, December 25, 2017

Aku Buku Yang Hampir Penuh

"Buku tulisnya sebentar lagi mau penuh." 
Begitu seseorang mengingatkan kita, maka kita langsung berhenti menulis. Kita akan menghitung berapa lembar lagi halaman yang kosong tersisa. Yang masih bisa kita tulisi. Kemudian kita akan membolak-balik lembaran-lembaran halaman sebelumnya.

Di halaman pertama, mula-mula kita menuliskan nama dan identitas kita lainnya. Kita ingin dikenal sebagai seseorang. Selanjutnya kita melihat halaman-halaman kita yang beragam. Ada halaman yang berisi tulisan yang rapih, bersambung dan tak terputus. Halaman ini di saat kita sedang semangat-semangatnya menulis. Ada halaman berisi catatan yang dilengkapi dengan gambar dan beberapa highlights untuk yang kita anggap penting. Ini  ketika kita mempunyai rencana dan menandai milestones yang sudah kita capai. Namun terkadang ada satu bagian berisi coretan-coretan tidak jelas yang kita sendiri tidak tahu artinya. Ini terjadi ketika kita sedang merasa buntu; menghadapi tembok yang kokoh. Semua upaya kita tak ada artinya sama sekali sampai kita bingung sebenarnya kita sedang melakukan apa. Dan kadang ada halaman yang kita biarkan kosong begitu saja. Kertasnya memang kosong, tapi kita menganggapnya kertas memang lebih baik dibiarkan kosong begitu saja. Kita akan membuka halaman baru untuk tulisan baru dan halaman yang kosong ini tetap ada dan menjadi bagian dari buku ini. Kita merasa berdiam tidak melakukan apa-apa itu adalah pilihan yang terbaik. Memang terkadang ada persoalan yang solusinya adalah dengan didiamkan.  Setelah kita berdiam lama, maka kita akan memulai langkah baru.

Setelah membuka semua halaman, lalu kita bertanya buku seperti apa yang mau kita buat? Bukan berapa lembar halaman yang tersisa, tapi akhir buku seperti apa yang mau kita buat?

Sebuah buku cerita akan "gagal total" kalau ending-nya biasa-biasa saja atau tidak happy ending. Tidak peduli seberapa memukaunya pembukaan dan isi buku yang kita buat. Kita harus buat ending-nya yang luar biasa. Orang akan mengingatnya karena ending yang luar biasa.

Saya sekarang akan memasuki usia 40 tahun. Kata orang life begins at forty. Kehidupan dimulai di usia empat puluh tahun. Menjadi baik atau bajingan kita seterusnya dimulai dari sini.  Dan saya adalah buku yang hampir penuh. Tinggal beberapa lembar yang tersisa.

Sekarang saya sedang membukai lembaran halaman sebelumnya. Kemudian saya sedang bertanya-tanya ending yang bagaimana yang seharusnya terjadi? Tentu ending yang "wow" dan berkesan. Dan tahukah kamu apa yang saya sedang lakukan sekarang? Saya sedang mencoret-coret halaman saya. Dan mungkin pada akhirnya akan saya biarkan kosong untuk membuka halaman baru.

By the way kita sedang tidak membicarakan buku kan?

#30dayswritingchallenge
#30dwc
#jilid10
#squad1
#bertema#buku

Saturday, December 23, 2017

Libur Telah Tiba, Horee!

Selamat liburan.
Jangan lupa foto-foto
makanan dan tempat wisatanya.
(Hasan Abadi Kamil)

Hari ini hari terakhir kami sekolah. Semua teman-teman bergembira, kecuali aku. Setelah menerima raport semester ganjil maka aku dan teman-teman akan tidak bertemu selama dua minggu lebih. Semua orang teman akan mengunjungi daerah wisata atau berkunjung ke sanak saudara di luar kota. Semuanya bergembira, kecuali aku.

Bagiku liburan atau tidak liburan, itu sama saja. Tak ada tanggal merah di sistem kalender di rumah kami.

Ayah akan tetap sibuk bekerja untuk memenuhi kebutuhan kami. Dia banting tulang peras keringat berjuang until keluarganya. Baginya waktu 24 jam sehari  dan 7 hari seminggu tidaklah pernah cukup.

Ibu akan memilih menbung uang yang kami punya dari pada digunakan untuk liburan. Masih banyak keperluan keluarga, masih banyak keperluan aku dan saudara-saudara yang harus dipenuhi. Buku-buku dan perlengkapan semester depan jauh lebih membutuhkan perhatian dari pada berkunjung ke tempat wisata.

Pernah terbersit dalam fikiran untuk bertanya kepada ayah dan ibu mengapa aku tidak bisa liburan seperti teman-teman? Mengapa kita tidak bisa berkunjung ke tempat wisata atau berkunjung ke sanak saudara seperti yang lain? Sudah bisa kutebak jawabnnya. Kita tidak punya uang untuk liburan; masih banyak keperluan yang harus kita penuhi dan jawaban lainnya. Selain itu juga aku rasanya tidak tega untuk menanyakan hal itu. Ayah yang berangkat pagi-pagi dan pulang larut karena bekerja sudah cukup sebagai sebuah jawaban. Ibu yang terus bekerja mengurus rumah dan mengatur dari ayah agar bisa mencukupinya sudah cukup membuatku untuk berusaha mensyukuri apa-apa yang ada.

Selama liburan aku dan saudara-saudaraku akan menghabiskan waktu di rumah saja. Bermain dengan teman-teman sekitar rumah yang tidak kemana-mana atau menonton acara televisi yang banyak memutar film-film untuk  liburan.

Dan aku sudah bersiap-siap ketika liburan beberapa hari lagi selesai. Aku tak perlu bersusah susah mempersiapkan cerita pengalaman selama liburan. Kalau aku bercerita di depan kelas soal pengalaman liburan aku akan bercerita seperti ini: "Selama liburan, kami tidak kemana-mana. Aku hanya menghabiskan waktu di rumah saja. Kalau tidak bermain dengan teman-teman dekat rumah, biasanya menonton film di televisi. Hal ini persis seperti liburanku sebelum-sebelumnya. Selesai." Dan aku tak peduli kalau ada teman-teman yang mentertawakan aku karena itu liburan sebagaimana definisi mereka. Untunglah Bu Guru berusaha tersenyum dan menghiburku dengan kata-kata:"itu juga liburan, walau pun di rumah saja."

Ini liburanku, mana liburanmu?

#30dayswritingchallenge
#30dwc
#jilid10
#squad1
#day28

Friday, December 22, 2017

Pena Ayah

Di suatu malam di dalam sebuah rumah megah di pinggiran kota Jakarta. Di ruang tamunya yang luas, berkumpul anak dan menantu Pak Indra mengelilingi Pak Imam. Malam ini akan ada pembacaan surat wasiat.
"Anak-anakku sekalian. Saya mau membacakan isi dari kertas ini. Ini adalah surat wasiat dari Bapak kalian."
Tak ada satu suara yang keluar. Semuanya menyimak ucapan Pak Imam.
"Anak-anakku, ketika surat wasiat ini dibacakan, tentu Bapak sudah tidak hadir di antara Kalian. Melalui surat ini Bapak mau berwasiat. Harta Bapak yang tersisa hanyalah rumah ini."

Belum selesai surat wasiat dibacakan, mulai terjadi kegaduhan.
"Pak Imam, apa benar isi surat wasiatnya?"Tanya Yanto anak tertua dari Pak Indra. Pak Imam tidak menggubrisnya, dia melanjutkan pembacaan surat wasiat.
"Harta Bapak berupa tanah dan perusahaan beserta aset yang lain sudah tergadaikan untuk membayar hutang-hutang Bapak. Hal ini disebabkan oleh Bapak suka berjudi. Bapak berharap kalian tidak mengikuti kebiasaan Bapak berjudi. Sekarang silahkan kalian bagian warisan yang ada secara ketentuan agama."
Pak Imam, berhenti membacakan surat wasiat.
"Pak Imam apa benar, warisan bapak tinggal ini?"Tanya Yanto.
"Kalau menurut surat ini, betul Mas Yanto."
"Enggak mungkin!"Kata Yanto dengan nada pedas.
"Iya enggak mungkin." Yang lain ikut-ikutan menimpali.
"Saya hanya menjalankan amanah bapak kalian."

Setelah beberapa lama, Pak Imam mengeluarkan kertas berikutnya.
"Itu kertas apalagi?" Tanya yang perempuan. Namanya Titik. Dia anak kedua.
"Anak-anakku, Bapak mau menitipkan surat permohonan maaf untuk ibu kalian. Bapak yakin ibu kalian tidak hadir di pemakaman Bapak." Pak Imam membacakan isi sampul kertas itu.

"Ibu pasti tidak mau memaafkan."Kata Titik."Bapak telah selingkuh dengan perempuan itu."
Suasana kembali ribut. Pak Imam hanya terdiam, tanpa berusaha mendiamkan mereka. Anak-anak almarhum terus berbeda pendapat. Setelah sekian lama ribut satu persatu anak dan manantu meninggalkan ruang tengah itu.

"Pak Imam. Kami semua tidak bisa menjalankan permintaan Bapak."Kata Yanto mewakili saudara-saudaranya. Setelah itu mereka pergi.  Ruang tamu yang tadi rama menjadi sepi. Pak Imam duduk terpekur sendrian.
"Pak Imam," tiba-tiba ada sebuah suara mengangetkan Pak Imam. Suara tersebut dari Harry yang merupakan anak bungsu Pak Indra.
"Eh, Mas Harry."
"Bolehkah saya melihat semua surat wasiat Bapak?"Tanya Harry sambil mendekati Pak Imam.
"Silahkan, silahkan Mas Harry."

Harry, mengamati surat wasiat. Dia pandangi tulisan sambung miring ke depan khas orang-orang dulu. Harry tersenyum.
"Pak Imam, ini bukan tulisan Bapak. Saya minta lihat surat wasiat asli Bapak"
"Loh, masak saya bohong Mas Harry?"
"Memang secara tulisan ini mirip sekali dengan tulisannya Bapak. Tapi kalau dari tintanya, Bapak tidak pernah menggunakan pulpen untuk menulis. Bapak biasanya menggunakan pena merk Parker yang menggunakan tinta cair. Tulisan ini mirip sekali namun tidak ada bleberan tinta cair. Bapak walau tulisannya rapih, biasanya suka adasedikit bleberan tinta dari pena yang dia pakai." Harry menjelaskan semuanya.

Pak Imam tersenyum kagum atas penjelasan Harry.
"Saya sering menemani Bapak di ruang kerjanya. Bapak selalu menolak memakai pulpen saya, kalau penanya tidak ada di tempat. Dia lebih memilih tidak menulis sampai penanya kembali atau beli yang baru." Harry menambahkan.

"Mas Harry, kamu memang anak Indra sejatinya."


#30dayswritingchallenge
#30dwc
#jilid10
#squad1
#day27
#bertema#pena

Asep Asep

Pernah saya tidak sengaja kenalan dengan seseorang yang bernama Asep.
"Hasan."Saya mulai memperkenalkan diri.
"Asep. Panggil aja Asep Villa."Jawabnya sambil tersenyum.
"Kenapa?" Tanya saya ingin tahu alias kepo. Terbayang Pak Asep ini menggunakan kupluk, berjaket dan sarungan. Tidak lupa tangannya membawa senter sambil menawarkan Villa:"Villa, Villa."
"Saya punya villa di Cipanas. Saya  suka nawarin ke orang-orang yang sedang liburan. Jadinya dipanggil Asep Villa."Tambahnya.
"Oooo."Ternyata tebakan saya tidak meleset. Ada rasa senang di hati saya.
"Kalau Bapak maen, tanya aja dimana rumah Asep Villa, pasti pada kenal."
"Ya ya ya."

Ada lagi Asep Tato. Dipanggil demikian karena seluruh tubuhnya dipenuhi dengan Tato. Ustadz lokal di daerah Bandung ini memang dulunya akrab dengan dunia premanisme dimana tato sebagai "hiasannya".

Walau pun sudah hijrah, panggilannya tetap Asep Tato. Mungkin sudah kadung menjadi "trade mark" kalau dipanggil menjadi Asep Hijrah atau Asep Tobat  malah tidak ada yang mengenalinya.

Beginilah "nasib" orang-orang yang memiliki nama sejuta atau banyak yang menggunakannya. Harus mencari pembeda atau diferensiasi namanya.

Nama Asep adalah nama generik untuk penduduk Tatar Sunda. Banyak sekali orang yang memakai nama ini. Sama dengan nama Sugeng dan Bambang di masyarakat Jawa dan Ucok di masyarakat Batak. Karena banyak nama yang sama akhirnya orang menambahkan embel-embel di belakangnya. Embel-embel ini diambil yang paling melekat ke si pemilik nama. Misalnya Asep Villa karena memang memiliki dan suka menawarkan Villa.

Namun Kalau kita ingin diferensiasi nama kita, sebaiknya kita mengikuti orang-orang zaman dulu. Biasanya namanya dinisbatkan ke asalnya bukan tatonya atau yang lainnya. Apalagi nama itu adalah doa juga. Misal Ahmad Khatib Al-Minangkabawi seora imam Masjidil Haram yang berasal dari Minangkabau Indonesia,
Syekh Nawawi Al-Bantani yang berasal dari Banten.  Atau Abdurrahman Maturo, seorang pangeran dari Pulau Madura yang dibuang oleh Belanda ke Afrika Selatan. Di sana dia menyebarkan agama Islam sampai meninggal.

"Bapak turun dimana?"Seorang penumpang travel trayek Bandung Jakarta bertanya. Sedari tadi kami sudah ngobrol ngalor-ngidul.
"Di Cipulir Pak."
"Bilang aja nama saya Agus Dollar. Pasti kenal orang di situ."
"???"

#30dayswritingchallenge
#30dwc
#jilid10
#squad1
#day26

Wednesday, December 20, 2017

Kertas-Kertas Durjana

Di suatu malam di dalam sebuah rumah megah di pinggiran kota Jakarta. Di ruang tamunya yang luas, berkumpul para lelaki dan perempuan membentuk lingkaran. Mereka semua memandangi pria berumur yang mengenakan baju koko dan celana kain. rambutnya yang sudah memutih dibiarkan tanpa penutup kepala. Malam ini ada sebuah pembacaan surat wasiat dari seorang yang baru meninggal tadi siang. Pria yang berumur ini adalah teman dekat almarhum yang diminta untuk membacakan surat wasiatnya. Sepuluh pasang laki-laki dan perempuan merupakan anak dan menantunya.

Dimulai dengan batuk-batuk kecil, pria berumur itu mengeluarkan lipatan kertas dari saku baju kokonya. Dia buka lipatan kertasnya. Mulutnya bergerak perlahan tanpa suara membaca isi surat itu. Setelah itu dia langsung terdiam. Para hadirin masih menanti pria itu untuk bicara.

"Anak-anakku sekalian. Saya mau membacakan isi dari kertas ini. Ini adalah surat wasiat dari Bapak kalian."
Tak ada satu suara yang keluar. Semuanya hanya menatap sumber suara.
"Anak-anakku, ketika surat wasiat ini dibacakan, tentu Bapak sudah tidak hadir di antara kalian. Melalui surat ini Bapak mau berwasiat. Harta Bapak yang tersisa hanyalah rumah ini."

Belum selesai surat wasiat dibacakan, mulai terdengar gaduh. Bisik-bisik para ahli waris terdengar.
"Pak Imam, apa benar isi surat wasiatnya?"Seorang yang cukup dituakan berbicara. Dia adalah Yanto anak pertama. Pak Imam tidak menggubrisnya.
"Harta Bapak berupa tanah dan perusahaan beserta aset yang lain sudah tergadaikan untuk membayar hutang-hutang Bapak. Hal ini disebabkan oleh Bapak suka membeli kertas-kertas togel dan berjudi. Bapak berharap kalian tidak mengikuti. Sekarang silahkan kalian bagian warisan Bapak ini secara ketentuan agama."
Pak Imam, berhenti membacakan surat wasiat.
"Pak Imam apa benar, warisan bapak tinggal ini?"Tanya Yanto.
"Kalau menurut surat ini, betul Mas Yanto."
"Enggak mungkin!"Kata Yanto dengan nada pedas.
"Iya enggak mungkin." Yang lain ikut-ikutan menimpali.
"Saya hanya menjalankan amanah bapak kalian."

Setelah beberapa lama, Pak Imam mengeluarkan kertas berikutnya.
"Itu kertas apalagi?" Tanya yang perempuan. Namanya Titik. Dia anak kedua.
"Anak-anakku, Bapak mau menitipkan surat permohonan maaf untuk ibu kalian. Bapak yakin ibu kalian tidak hadir di pemakaman Bapak." Pak Imam membacakan isi sampul kertas itu.

"Ibu pasti tidak mau memaafkan."Kata Titik."Bapak telah selingkuh dengan perempuan itu."
Suasana kembali ribut. Pak Imam hanya terdiam, tanpa berusaha mendiamkan mereka. Anak-anak almarhum terus berbeda pendapat. Setelah sekian lama ribut satu persatu anak dan manantu meninggalkan ruang tengah itu.
"Pak Imam. Kami semua tidak bisa menjalankan permintaan Bapak."Kata Yanto mewakili saudara-saudaranya. Setelah itu mereka pergi. Masuk kamar atau ke ruangan lain meninggalkan Pak Imam seorang. Pak Imam hanya menggeleng-gelengkan kepala.

Ketika semuanya sepi Pak Imam mengeluarkan kertas yang lain. Dia membaca sejenak. Pak Imam kembali menggeleng-gelengkan kepala sambil tersenyum.
"Indra. Indra. Masih saja kau bercanda." Kata Pak Imam. Dia membeberkan lipatan kertas terakhir. Di situ tertulis.
"Anak-anakku, semua yang tadi Bapak katakan itu hanya rekaan Bapak. Tidak benar Bapak punya hutang. Tidak benar Bapak punya selingkuhan. Namun Bapak yakin ketika ini dibacakan oleh Pak Imam, kalian sudah tidak mau mendengarkan."



#DWC30
#Squad 1
#Jilid 10
#Day25
#Bertema#Kertas

Agung dan Ridwan

Hari sudah menjelang sore. Suasana sebuah rumah kosan terlihat ramai seiring kembalinya para penghuni dari aktivitasnya masing-masing. Sebuah siulan lagu yang sudah tidak dikenali lagu aslinya meluncur dari salah satu kamar. Siulan ini meluncur dari mulut Agung seorang mahasiswa sebuah perguran tinggi di Bandung.  

Selepas sholat ashar dia sudah rapih. Sedari tadi mematut-matut diri di depan cermin ukuran 20cm x 20 cm yg menempel di dinding kamar. Rambut lurusnya yang mulzi gondrong menutupi sebagian wajah ovalnya. Berkali-kali kaca mata minusnya ditiupi dan digosok-gosok oleh ujung kemejanya. Selesai digosok baru kaca mata itu hinggap di hidung yang tidak terlalu mancung. Terakhir jaket hijau tua, jaket himpunannya, melengkapi kemeja lusuh dan jins biru yang sudah menempel di badannya.
" I am ready",katanya dalam hati.
"Mana Gung?"Tanya sigit temen sekamarnya yang baru pulang kuliah.
"Mau ngajar privat."Jawab Agung masih melihat cermin.
"Ngajar privat tapi kayaknya semangat banget."
"Hari ini aku gajian bro hehehe."
"Wah makan-makan nih"
"Beres bro. Nanti malam aku beliin makan martabak pisang keju yang di pasar simpang."
"Sip."
"Gua cabut dulu ya."

Dengan langkah mantap Agung berjalan menyusuri jalan yang lebih cocok disebut gang yang kanan kirinya diapit deretan rumah yang berdempetan. Lebar jalan yang hanya cukup untuk 1 kendaraan motor yang lewat tak mengurangi keceriaan Agung. Walau beberapa kali harus mengerem laju jalannya karena jalan yang padat. Tak lama kemudian, dia sudah sampai ke pasar Simpang Dago. Dengan mantap ia menanti angkot dengan jurusan Kebun Kelapa.

Murid privatnya tinggal dekat terminal Leuwi Panjang. Jadi untuk menuju ke sana dia harus naik 2 kali angkot dari pasar Simpang Dago. Mula-mula dia harus ke Kebon Kelapa. Dari Kebon Kelapa naik yang lewat terminal Leuwi Panjang.

Agung memeriksa saku celana jinsnya. Uangnya hanya cukup untuk satu perjalanan. Namun dia tidak khawatir karena hari ini dia mendapat bayaran untuk satu bulan mengajar privat.

Mengajar privat menjadi sumber penghasilan primadona mahasiswa seperti Agung. Dengan kemampuan yang mumpuni di bidang matematika, kimia dan fisika, ditambah lagi titel mahasiswa perguruan terbaik di Indonesia sebagai modal yang cukup untuk mengajar privat. Kalau mendapatkan murid yang baik hati, biasanya tak segan-segan bayarannya dilebihkan. Dan selalu disediakan makan malam sebelum kegiatan belajar dimulai.

Setelah sekian lama dalam perjalanan, Agung pun sampai ke komplek perumahan murid privatnya. Semakin dekat rumahnya semakin cepat langkahnya.
"Kok sepi ya?"Kata Agung ketika berada di depan rumah muridnya. Dia lihat pintu dan jendela tertutup rapat. Dia melihat dari luar yang dibatasi pintu gerbang tinggi yang tergembok kuat.

"Kok enggak ada info kalau jadwalnya batal." Buru-buru Agung merogoh handphone Nokia sejuta umat di saku jaketnya.
"Assalamu alaimum. Maaf Mas Agung hari ini privatnya libur dulu ya. Nenek di Cirebon meninggal." Sederet pesan singkat di hp-nya terbaca. Agung terdiam. Dia memukul-mukul kepalanya. "Kenapa aku enggak cek hp dulu."
 
Agung menengok kanan-kiri, pandangannya menyapu ke seluruh sudut. Sepi tak ada orang yang bisa ditanya. Dengan langkah gontai dia meninggalkan rumah muridnya. Dia bingung untuk kembali ke kosan. Karena dia sudah memiliki uang sama sekali di kantongnya.

Sambil berfikir bagaimana pulang, Agung menuju mushola di terminal Leuwi Panjang. Dia tunaikan sholat maghrib yang sudah berdekatan ke waktu sholat isya. Begitu dia salam terakhir, terdengar suara adzan sholat Isya. Dia pun ikut sholat isya bersama yang lain. Setelah itu dia berzikir dan berdoa. Doanya begitu khusyuk dan lama. Meminta pertolongan Alloh SWT agar bisa balik ke kostannya.

Dirasa sudah cukup mengadu, Agung bersiap-siap untuk pulang walau pun dia tidak tahu dari mana uang ongkosnya. Tak lama kemudian perutnya terasa melilit. Dia baru ingat belum makan dari tadi siang.

Di samping musholla terminal ada seorang pria tuna netra separuh baya. Sedari tadi dia tak henti-hentinya mengalunkan ayat-ayat suci Alquran dari mulutnya. Sementara di sebelah kanan dia duduk ada kaleng bekas cat setia menemani. Tempat itu siap menampung lemparan koin uang recehan dari orang-orang yang lalu lalang.

"Aku ada ide" kata Agung dalam hati. Walau pun dengan berat hati dia mulai menghampiri orang-orang yang sebagian besar calon penumpang yang sedang menunggu bis.
"Pak kasihan Pak. Saya enggak punya ongkos pulang." Agung mulai meminta belas kasihan. Orang yang pertama kali didatangi hanya mengangkat tangan. Dia tidak mau putus asa. Dia dekati yang lain.
"Maaf Bu saya Agung. Mahasiswa ITB. Saya kehabisan ongkos. Enggak bisa balik. Nanti saya kembalikan kalau sudah punya uang."Kata Agung sambil menunjukkan kartu tanda mahasiswa. Namun hasilnya sama, hanya tangan yang diangkat.

Agung tidak mau menyerah, dia kembali meminta ke para calon penumpang lainnya. Setelah sekian jam berusaha tak ada satu pun yang menaruh belas kasihan kepadanya. Mereka nampaknya tidak percaya kalau Agung ini seorang mahasiswa dan memang benar-benar membutuhkan uang. Dia menyerah. Dia duduk di deretan bangku-bangku terminal yang mulai sepi. 

Malam sudah terlalu malam. Agung mulai berfikir untuk menginap di terminal malam ini. Besok pagi dia akan mencari bantuan. Kalau tidak ada, maka dia berencana akan berjalan kaki dari Leuwi Panjang ke Dago.

Ketika dia baru merebahkan tubuhnya di bangku terminal sebuah sentuhan halus menggangu niat tidurnya.
"Mas, mau tidur di sini?"Kata seorang laki-laki seusia Agung sudah berdiri di sampingnya.
"Iya."
"Kenapa?"
"Saya kehabisan ongkos. Mencari pinjaman enggak dapat-dapat"
"Ooo. Kalau begitu sekarang ikut saya aja."
"Kemana?"
"Ke kontrakan saya."
Agung pun menurut saja. Baginya harapan tidur di kontrakan seseorang yang baru dikenal jauh lebih baik dari tidur di bangku terminal yang keamanannya belum tentu terjamin.

Setelah jalan berliku-liku akhirnya sampai di kontrakan orang yang baik hati ini. Kontrakannya ini berupa bangunan petak semi permanen. Begitu pertama kali masuk, ruangan ini hanya 3x3 tanpa berisi tempat tidur dan perabotan lainnya. Seisi kamar dihiasi gantungan baju dan barang - barang. Deretan piring dan alas kaki ada dekat pintu.
"Kebetulan teman-teman saya lagi pulang kampung. Mas bisa ikut tidur di sini."
Agung hanya mengangguk-angguk sambil melihat ke lantai.
"Eh siapa namanya Mas? Saya Ridwan."
"Agung."Agung dan Ridwan saling berjabatan tangan.

Tanpa dipersilahkan lagi Agung langsung merebahkan tubuhnya di lantai. Dan ia tidak butuh waktu lama untuk tidur. Tidurnya nyenyak di atas lantai. Satu dua nyamuk yang hinggap ditubuhnya dibiarkan menikmati darahnya tanpa gangguan.

Suara adzan subuh membangunkan Agung. Dia mencari Ridwan yang tidak ada di kamarnya. 
"Mungkin ke masjid. Kenapa enggak ngajak-ngajak ya." Kata Agung dalam hati.

Agung pun bangkit dari posisinya. Dia ingin wudhu dan buang air kecil. Begitu keluar dari kamar yang tidak berkunci, matanya mencari-cari kamar mandi. Ternyata di ujung deretan rumah petak ada sebuah kamar mandi. Agung segera menunaikan hajatnya.

"Mas makan dulu Mas." Suara Ridwan terdengar ketika Agung selesai menunaikan sholat subuh.
Ridwan mendorongkan sepiring kue jajanan pasar dan segelas kopi panas. 
"Maaf, cuma ini buat sarapan."
"Wah, ini juga sudah luar biasa sarapannya." Mereka berdua lalu asyik mengobrol sambil menikmati kue dan kopi panas di pagi yang masih dingin.
"Tadi kemana?"
"Ini ke rumah teman. Mau pinjam uang." Ridwan segera merogoh saku celananya. Dia keluarkan beberapa lembar uang
"Mas ini uang buat ongkos Mas Agung pulang."Ridwan menyerahkan beberapa lembaran uang lima ribuan dan seribuan. Semuanya lima belas ribu.
"Kemarin Mas cerita mau ke Dago ya. Setahu saya ongkosnya lima belasribuan. Dari sini ke Kelapa tujuh ribu. Dari Kelapa ke Dago delapan ribu. Betul kan yah?"
Agung tidak langsung menjawab. Dia hanya terdiam.
"Makasih ya. Nanti kalau saya sudah gajian, saya kembalikan."
"Ah enggak usah. Silahkan dimakan. Nanti keburu dingin." Ridwan kembali menawarkan untuk menikmati hidangan yang ada.

Agung kembali makan. Dia makan dengan lahap, dengan hati terharu. Dia berjanji akan melunasi hutangnya. Dan dia berjanji akan berbuat baik seperti orang yang berada di depannya.

#DWC30
#Squad 1
#Jilid 10
#Day24

Monday, December 18, 2017

Andai Aku Menjadi Pengusaha: Motivasi

Kalau dihitung-hitung saya sudah dua belas tahun lebih bekerja di perusahaan yang sama. Dan saya ini termasuk setia pada pasangan eh perusahaan loh. Sejauh ini baru satu perusahaan saja tempat saya mencari nafkah,  belum pernah mencoba pindah ke tempat yang lain.

Mengingat usia bekerja yang sudah cukup lama, tak sedikit rekan kerja atau teman yang bertanya: Pak, kapan jadi pengusaha?

Ditodong pertanyaan semacam itu jelas saya tidak siap dan bingung harus menjawab apa. Seperti tidak ada pertanyaan yang lain saja he he he. Mungkin mereka berfikir dengan masa kerja selama ini, dirasa sudah cukup bekal untuk memulai usaha. Mungkin.

Sejujurnya dalam hati kecil ini ada cita-cita menjadi seorang pengusaha. Ditambah dulu setelah lulus kuliah saya pernah mencoba memulai usaha dan hasilnya adalah NOL BESAR. Jadi masih ada semacam rasa penasaran karena pernah gagal sebelumnya. Dan terkadang ingin membuktikan bahwa saya pun bisa.

Ada dua hal yang menjadi motivasi Saya menjadi pengusaha  :
1. Membuka lapangan pekerjaan
Menjadi pengusa dengan kata lain membuka lapangan pekerjaan bagi yang lain. Karena menjadi pengusaha menggaji diri sendiri dan orang lain. Ini membantu pemerintah dalam meningkatkan kehidupan masyarakat dan juga sebagai saluran lewatnya rejeki orang lain melalui kita.

2. Agar bersedekah lebih banyak
Yang kedua ini terinspirasi dari pemilik perusahaan tempat saya bekerja sekarang ini. Owner perusahaan saya kalau ditanya apa motivasi ya jawab sudah jelas: motivasi saya menjadi pengusaha agar bisa sedekah lebih banyak dibandingkan hanya menjadi pegawai. Kalau usaha yang kita jalankan menghasilkan keuntungan maka sebagian darinya kita berikan kepada yang membutuhkan. Kita bisa lewat zakat, infak dan sadaqoh. Semakin besar keuntungan semakin besar sedekah yang diberikan. Selain membantu sesama juga membersihkan harta kita sehingga lebih barokah. Dan saya ingin meneladani atasan saya sekarang ini.

Jadi boleh dibilang motivasi utamanya bukan mengejar materi saja. Kalau hanya sekedar ingin kaya jadi pegawai juga bisa. Bahkan Safir Senduk, seorang financial planner, pernah membuat buku tentang caranya menjadi karyawan yang kaya tanpa harus menjadi pengusaha. Menjadi pengusaha yang saya cari adalah menyebarkan manfaat dan mencari keberkahan. Itu saja.

#DWC30
#Squad 1
#Jilid 10
#Day23

Makanan Paling Enak Sedunia

Di sebuah negeri, hiduplah seorang jutawan yang resah. Dia sedang merasa tidak enak makan. Semua makanan yang dihidangkan oleh para juru masaknya tidak membuatnya berselera. Padahal kokinya ini, konon katanya, jebolan master chef semua. Setiap maskan yang disajikan hanya dicoba satu dua sendok saja setelah itu dia tidak berselera untuk menghabiskannya.

Ketika berkonsultasi dengan dokter pribadinya, tidak ada gangguan apa-apa. Semuanya baik-baik saja. Tidak ada tanda-tanda sedang sakit. Namun mengapa sang jutawan hilang selera makannya?

Melihat kondisi sang kepala rumah tangga memerintahkan para juru masak untuk membuat makanan yang jauh lebih enak. Mencari resep makanan dari segala penjuru dunia. Mencari makanan dan minuman apa yang bisa menggugah selera makan sang tuan.

Mulailah para juru masak mencari-cari resep yang belum pernah mereka buat dan sajikan. Mereka mencari dengan bertanya ke seluruh chef di restauran-restauran ternama sedunia, memborong buku-buku resep dan mencoba membuat resep baru. Mereka bekerja siang dan malam terus-menerus demi sang tuan. Hingga pada suatu saat.

"Aku ingin makan."Kata sang jutawan memberi perintah ke kepala rumah tangga melalui interkom.
"Baik Tuan."Sebuah jawaban dari sana.

Biasanya dalam satu jam kemudian makanan sudah siap di meja makan, dan seorang pelayan akan memberi tahukannya dan dia pun akan dikawal seorang pengawal menuju ruang makan. Namun saat ini jam sudah satu jam lebih beberapa menit. Seorang pelayan pun belum datang.

"Ada apa ini?"Katanya dalam hati."Tidak seperti biasanya. Mungkin mereka sedang menyiapkan menu baru untukku."Kata sang jutawan dalam hati. Mencoba menghibur.

Satu jam sudah berlalu. Dua jam sudah berlalu. Sang jutawan merasakan sebuah gerakan di perutnya. Mula - mula hanya muncul sekali terus berhenti. Setelah itu muncul lagi. Dan terus-terusan.
"Rasa apa ini dalam perutku ini?"Kata sang jutawan."Dan aku belum makan juga dan sekarang sudah..."dia melihat jam tangan mahalnya.

"Apa? Aku hampir 3 jam belum makan!" Dia terkejut. Dia belum pernah mengalami seperti ini.
"Kepala Rumah Tangga! Cepat ke sini!" Teriaknya melalui interkom.
"Aa ada apa Tuan?"Sebuah jawaban penuh takut dari ujung sana.
"Pokoknya ke sini!"Bentak sang jutawan.

Tidak butuh 5 menit kepala rumah tangga sudah sampai. Kepalanya tertunduk, titik-titik keringat muncul di pelipisnya.
"Aku tadi  minta apa?"
"Makan tuan."
"Kenapa belum ada sampai sekarang?"
"Mmmm...anu tuan."
"Anu apa?"
"Anu."
"Hahhh."Sang jutawan kehilangan kesabarang. Dia berjalan menuju ruang makan. Kepala rumah tangga mengejarnya.
"Tunggu Tuan. Tunggu."
Sang jutawan terus berjalan.

Dia memasuki ruang makan. Dia lihat di meja makan. Semua piring dan mangkok sudah tersedia, namun tak ada makannya. Dia meradang. Dia berjalan dengan cepat menuju dapur. Kepala rumah tangga mengejarnya.

"Brak!!!" Sang jutawan membanting pintu dapur. Semua koki yang sedang memasak terkejut. Tak ada satu suara pun yang keluar kecuali bunyi panci dan penggorengan.
"Mana makanannya?"Tanya sang jutawan dengan marah.
"Masih dimasak, Tuan."Jawab kepala rumah tangga.

Sang merah mukanya giginya bergemeletakan. Namun dia tidak bisa apa-apa. Dia pandangi seluruh ruangan. Tiba-tiba pandangannya terhenti di sudut daput. Di situ ada sebuah meja kecil dan ada seorang koki sedang makan dengan lahapnya.
"Hei! Kamu di saat aku sedang lapar kamu, kamu enak-enakan makan."Kata sang jutawan marah.
Sang koki terdiam. Dia tidak meneruskan makannya. Dia tampak pasrah kalau pun harus dihukum atau dipecat sekalian.
"Kamu makan apa?"Bentak sang jutawan.
"Nasi rames."Jawab sang koki dengan pelan.
"Nasi apa?"
"Nasi rames Tuan."
"Apa itu nasi rames?"Tanya sang jutawan. Suaranya mulai turun.

Belum sang koki menjawab, sang jutawan mengambil kursi dan mengambil sendok. Buru-buru kepala rumah tangga dan sang koki berusaha mencegahnya.
"Jangan Tuan!!!"Kepala rumah tangga dan sang koki teriak bersamaan.

Namun terlambat, sesendok nasi rames sudah masuk ke mulut.
"Mati aku!" Kata sang koki.
"Habis ini aku dipecat."Kata kepala rumah tangga.

Sang jutawan mengunyah nasi rames tersebut. Dia ambil sesendok lagi. Dikunyah lagi. Ambil sesendok lagi sampai habis nasi rames di depannya.
"Wah, enak sekali nasi rames ini. Siapa yang masak?"Tanya sang jutawan.
Sang koki tidak menjawab. Koki-koki yang lain tidak menjawab. Apalagi kepala rumah tangga.
"Kok tidak ada yang menjawab? Bukan kamu yang memasaknya?"
"Bukan Tuan."
"Lantas dimana kamu mendapatkannya?"
"Di warteg depan Tuan."
"Kok bisa seenak ini ya?"Kata sang jutawan keheranan.
"Mungkin karena Tuan sedang lapar." Kata kepala rumah tangga.
"Oh ya? Aku baru tahu sekarang." Kata sang jutawan yang seperti mendapatkan pencerahan.

#DWC30
#Squad 1
#Jilid 10
#Day22

Sunday, December 17, 2017

Bakat Yang Saya Khianati

Selama ini ada satu bakat dalam diri saya yang telah "dikhianati" yaitu menggambar.

Saya mulai menggambar ketika mengenal sebatang pensil di usia lima tahun. Dan "kertas" pertamanya adalah dinding rumah kami. Hampir di setiap titik bisa dijumpai hasil karya saya. Selain itu saya suka menggambar di atas tanah dan pasir.

Ketika memasuki sekolah dasar saya suka sekali mengisi waktu dengan menggambar macam-macam. Sebelum bel masuk saya menggambar di buku tulis sambil diriungi teman-taman. Kalau sudah selesai mengerjakan tugas saya memilih untuk menggambar. Sampai ditegur guru karena aktivitas saya ini.

Di rumah juga begitu. Setiap ada kertas kosong saya gambari sesuatu. Saya pernah memaksa bapak ibu kakak dan adik saya saya buatkan sketsa wajahnya. Dan menonton acara menggambarnya Pak Tino Sidin adalah acara yang tidak boleh dilewatkan.

Menggambar mulai terlupakan ketika saya mempunyai prestasi yang lain. Saya selalu mendapatkan rangking di kelas dan mewakili sekolah untuk lomba IPA. Dan sejak itu pelan-pelan menggambar ini tidak pernah lagi mendapat perhatian serius dari saya. Saya tidak pernah mengasah lagi kemampuan menggambarnya.

Pernah ketika mendaftar kuliah saya mengingat kembali bakat saya yang "hilang" ini. Selain mencoba Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (sekarang namanya Seleksi Masuk Perguruan Tinggi Negeri) saya mencoba mendaftar ke fakultas seni rupa dan desain Institut Teknologi Bandung. Formulirnya sudah saya ambil, namun saya urang mendaftar karena saya berfikir kalau masuk FSRD keluarnya akan menjadi seorang seniman.

Dalam fikiran saya, mewakili masyarakat Indonesia waktu itu kalau menjadi seniman harus siap-siap miskin. Padahal saya ingin membahagiakan orang tua saya, salah satunya dari sisi materi. Maka saya tidak pernah mengikuti ujiannya.

Dan sekarang kemampuan saya ini hanya sebagai pengisi waktu kalau sedang jenuh dalam bekerja. Biasanya buku atau agenda saya penuh dengan coret-coretan yang tidak karuan.

#DWC30
#Squad 1
#Jilid 10
#Day21


Saturday, December 16, 2017

Kuper Part 1

"Kiri Bang."Kataku ketika ujung gang menuju rumahku sudah mulai terlihat. Supir angkot pun dengan sigap melambatkan laju kendaraannya dan menepi. Kuberikan kepadanya beberapa lembar uang kertas seribuan dan langsung turun. Angkot pun melesat kembali. Aku tepat berdiri di ujung jalan menuju rumahku. Jalan yang lebih cocok disebut gang ini memiliki panjang 500 meter dan melewati deretean rumah yang berdempetan.


Beberapa meter sebelum menuju ada warung Bang Tohir. Biasanya jam-jam segini banyak yang nongkrong di warungnya. Semakin mendekat semakin terlihat ada kerumunan di sana. Beberapa remaja seumuranku sedang asyik berkumpul. Ada yang bermain gitar sambil bernyanyi, ada yang ikut-ikutan menyanyi, ada yang main kartu dan bersenda gurau. Semuanya dilakukan dengan ditemani kepulan asap rokok filter ke udara.

Ketika berpapasan dengan mereka aku berusaha tersenyum sambil mencari-cari wajah yang mau membalasnya. Satu dua orang ada yang membalasnya. Selebihnya asyik dengan aktivitasnya.
"Baru pulang San!"Rudi menegurku sambil melambaikan tangan. Dia salah satunya.
"Iya."Jawabku pelan.

Sudah begitu saja. Sebenarnya aku ingin lebih sekedar mengatakan "iya". Aku ingin mengatakan, "gua baru pulang sekolah. Hari ini gua melakukan apa. Hmmm sejujurnya aku ingin ditanya lebih banyak oleh mereka. Tapi kenyataannya hanya pertanyaan basa-basi. Seperti itu setiap hari. Padahal aku mengenal mereka. Terkadang aku ingin ada jalan lain menuju rumah tanpa harus bertemu dengan mereka.

Akhirnya sampai juga di rumah. Aku mencium tangan emakku dan langsung masuk kamar. Tas kuletakkan di atas kasur dan kubiarkan tubuhkan rebah di atas lantai yang dingin. Terasa kesejukan mengisi seluruh relungku. Panggilan emak untuk makan siang yang menjelang sore tidak kuindahkan.

Sambil mata terpejam aku terus merenung. Mengapa aku tidak ada tempat di mereka yang notabene adalah teman-temanku juga. Terkadang aku merasa terkucil dan tidak memiliki teman.

Akhirnya aku mendapatkan pembenaran. Aku memang tidak memiliki waktu untuk bergaul atau bermasyarakat. Semenjak aku memasuki SMA favorit di kota sebelah waktuku sudah tersita. Jam sekolah yang sampai sore, tugas dan pekerjaan yang cukup banyak membuat aku menjadi kuper. Hari sabtu? Kugunakan untuk mengurusi ekstrakulikuler di sekolah seharian. Hari minggu, waktunya istirahat dan untuk keluarga. Jadi praktis tidak ada waktu untu itu.

"Wah Lu sombong banget sih gak mau nongkrong San." Saudaraku yang beda beberapa rumah pernah mengkritiku."Orang tuh hidup harus bermasyarakat."
Aku hanya menjawab sambil senyum-senyum.



#DWC30
#Squad 1
#Jilid 10
#Day20

Thursday, December 14, 2017

Bapak Pergi Meninggalkan Nama

Gajah mati meninggalkan gading
Harimau mati meninggalkan belang
Manusia mati meninggalkan nama

Bapak saya adalah orang yang tidak disukai oleh sebagian murid dan gurunya. Ini bukan kabar burung atau isapan jempol belaka karena saya dan saudara-saudara saya sekolah di SD dimana bapak menjadi kepala sekolahnya. Jadi kami mendengar sendiri ceritanya.
"San, Bapak Lu lama banget sih kasih sambutannya." Protes teman ketika sedang upacara.

Kalau guru ada yang suka menyindir kelakuan bapak ketika mengajar. Mereka tidak tahu atau tidak mau tahu kalau ada anak-anaknya bapak yang menjadi muridnya. Yang paling parah ada yang berani mengatai bapak mabok.
"Ha ha ha pagi-pagi sudah mabok."
"Iya hahaha"
Dua guru pria mengatai bapak karena bapak pagi-pagi sudah marah-marah.

Memang bapak orangnya keras sama siapa pun yang melanggar aturan. Tidak peduli murid atau guru. Dia pernah menampar murid yang nakal, memarahi guru yang tidak disiplin, bahkan pernah ada guru yang dia usir dari kelasnya; di depan murid-muridnya sendiri karena guru ini sering tidak masuk tanpa alasan yang jelas.

Sejujurnya saya ada rasa malu melihat kelakuan bapak ini. Tapi bagaimana pun dia bapak saya. Semua cerita dan ejekan ini saya anggap sebagai angin lalu saja. Masuk telinga kanan keluar telinga kiri.

Dan akhirnya pun tiba. Bapak dipindahtugaskan ke sekolah yang lain. Sekolah yang lebih kecil dan lebih jauh. Sudah menjadi rahasia umum ketika mau mutasi biasanya orang kasak-kusuk agar dapat sekolah yang "gemuk". Bapak tidak mau melakukan ini. Dia siap ditugaskan di mana saja.

Saya kira akan ada pesta perpisahan yang  mengungkapkan kesenangan dan kegembiraan karena "sumber penyakit" akan segera pergi. Ternyata tidak ada sama sekali. Bahkan ada salah satu guru hater-nya yang minta bapak jangan pergi.
"Nah ini Kepala Sekolah kita. Bapak jangan pergi. Tetap aja  di sini."
"Enggak bisa. Emang ini sekolah gua."Jawab bapak dengan santainya.

Dan tahu tidak guru yang pernah diusir dari kelasnya itu? Dia pernah berkunjung ke rumah dan mencium tangannya bapak ketika pulang. Hal yang tidak pernah dilakukan sebelumnya.

Dan kalau pun murid-murid Bapak banyak yang benci harusnya saya sudah jadi bahan bullying  ketika SMP, dimana sebagian besar lulusan SD kami meneruskan SMP yang sama.Ternyata tidak. Malah beberapa kali saya selamat dari pemalakan karena ada yang bilang, "Eh, jangan itu anak guru gua."

Dan kalau saya atau adik-adik saya main ke kampung murid-muridnya Bapak, selalu ada yang nanya, "Eh, ini anaknya Pak Rupid ya? Bapak sehat?".

Memang bapak orangnya keras tapi dia jujur. Dia tidak pernah korupsi, fisik bangunan sekolah selalu diperbaiki, guru-guru mendapat seragam gratis termasuk guru honorer (kalau di sekolah lain harus beli) dan kuota penduduk asli dijaga*

Dan akhirnya setelah semua itu yang tersisa hanyalah perasaan bangga di dada. Pak, maafkan anakmu yang pernah malu karena belum faham semuanya.

*dulu sekolah kami masih sebuah kampung.Tak lama banyak sawah digusur dijadikan perumahan;  pendatang mulai berdatangan. Bapak selalu menyisakan kuota untuk penduduk asli yang biasanya mendaftar di hari pertama sekolah. Beda dengan pendatang yang jauh-jauh hari sudah mendaftar. Konon kabarnya kebijakan ini tidak diteruskan oleh kepala sekolah yang baru.

#DWC30
#Squad 1
#Jilid 10
#Day19

Novel Yang Urung Diterbitkan

Biar jelek-jelek begini saya pernah membuat novel loh, namun sayangnya tidak jadi diterbitkan. Mengapa tidak jadi diterbitkan? Setelah saya baca-baca kembali novel saya ini terlalu tipis. Nanggung kalau disebut novel. Saya coba "membuat lebih tebal" namun tidak berhasil juga karena sudah tidak ada ide atau sudah jenuh.Dan akhirnya saya menyerah juga. Sekarang draft novel itu tersimpan di salah satu blog saya.

Perjuangan membuat novel itu cukup luar biasa menurut saya. Saya mengerjakannya di akhir pekan. Biasanya saya akan terbangun di jam 10 atau 11 malam setelah ketiduran menemani anak tidur. Dari jam 11 malam sampai subuh saya mulai menulis. Ini terus menerus dilakukan selama 3 bulan.

Judul novel itu adalah Jangan Membeli Kucing Dalam Karung. Ceritanya terilhami oleh suami istri pemilik rumah yang kami sewa. Sang istri sangat menyukai kucing. Bahkan pernah memungut kucing yang tidak terurus dari jalanan. Sedangkan suaminya, kebalikannya. Dia tidak suka sama sekali dengan kucing. Kalau istrinya tidak ada di rumah, dia suka mengusir para kucing dari dalam rumahnya. Namun uniknya dengan kombinasi bertentangan ini mereka bisa saling mencintai dan menyayangi. Ada hal-hal yang mereka sepakati bersama.

Dari sini saya kembangkan menjadi sebuah cerita. Ada pasangan suami istri yang baru menikah. Si istri sangat suka kucing dan si suami benci sekali kucing. Hal ini sebelumnya tidak mereka ketahui sebelum menikah, karena proses pernikahannya melalui jalur ta'aruf tidak pacaran. Mulailah pernak-pernik kehidupan dimulai yang semuanya berasal dari kucing. Singkat cerita akhirnya mereka bisa disatukan ketika kucingnya diambil orang. Dari sini mereka saling menghargai satu sama lain dan bisa hidup harmonis walau pun ada perbedaan.

Tanda-tanda novel itu tidak jadi diterbitkan adalah ketika draft-nya dibaca istri saya. Dia mengkritisi secara cerita. Ada pertanyaan-pertanyaan yang banyak sekali untuk dijawab. Secara istri suka membaca novel Michael Critchton dan Jhon Grisham dia menginginkan bobotnya seperti karya-karya kedua penulis ini. Akhirnya saya menyerah saja. Saya fikir, saya tidak cukup punya waktu untuk menjawab semua masukannya. Dan saya pun menyerah.

Sejujurnya saya masih menyimpan keinginan untuk membuat novel lagi. Beberapa ide cerita sudah ada. Namun saya masih mencari waktu untuk mengeksekusinya. Dan kalau sudah jadi mudah-mudahan yang ini bisa diterbitkan.

#DWC30
#Squad 1
#Jilid 10
#Day18

Tuesday, December 12, 2017

Tukang Sulap Masuk Sekolah

Ada satu kenangan yang tidak akan saya lupakan ketika duduk di bangku sekolah dasar (SD): tukang sulap masuk sekolah. Sampai sekarang saya tidak mengerti kenapa para tukang sulap itu datang ke sekolah kami. Mereka mengadakan pertunjukan dan kami semua senang. Mungkin para tukang sulap ini mau mengikuti trend pembangunan di zaman Orde Baru. Ada ABRI masuk desa. Hakim masuk desa. Makanya ada tukang sulap masuk sekolah. Maksa banget.

Menurut saya tukang sulap masuk sekolah ini tidak lebih dengan merambah pasar baru dalam mengais rezeki. Mereka bekerja sama dengan pihak sekolah untuk mengadakan pertunjukan dan mendapatkan bayaran.

Saya tahu mereka dapat bayaran karena seminggu sebelumnya para murid dimintai iuran oleh pihak sekolah. Prosentase berapa bagian untuk sekolah dan tukang sulapnya saya tidak tahu pasti. Bapak saya yang menjadi kepala sekolahnya tidak pernah bercerita. Tapi sepertinya sebuah hubungan simbiosis mutualisme. Buktinya hampir setiap tahun ada tukang sulap masuk sekolah.

Pertunjukan sulap biasanya diadakan pada hari sabtu setelah jam 9 pagi (zaman ORBA kegiatan sekolah dan bekerja belum ada yang 5 hari). Biasanya kami berkumpul di tanah yang lapang dekat sekolah. Dengan bermodalkan beberapa meja belajar dijadikan panggung dadakan para pesulap memainkan trik-triknya.

Para tukang sulap ini menyihir kami dengan kata-kata ajaibnya: sim salabim adakadabra. Setiap merapal mantra maka "keajaiban" terjadi (waktu itu belum ada Pak Tarno yang tenar dengan kata-kata : sim salabim prok-prok jadi apa!) . Kami yang belum pernah menonton acara magic biggest secret finally revealed terkagum-kagum sampai berfikir kalau ini adalah ilmu sihir.

Sulap itu palsu! Beberapa tukang sulap yang pernah pentas di sekolah kami selalu menyatakan itu. Ini untuk menegaskan bahwa sulap itu penuh dengan trik, murni kecepatan tangan dan permainan. Bukan ilmu sihir atau ilmu hitam. Untuk mendukung pernyataannya tukang sulap suka membocorkan trik sulapnya sperti permainan kartu, air yang berubah warna, benda menghilang dan trik-trik sulap sederhana lainnya.

Namun ada beberapa atraksi sulap yang saya fikir ada bantuan jinnya atau triknya yang sudah tingkat dewa sampai saya berfikir seperti itu. Pernah tukang sulap memotong-motong golong ke leher, lidah dan lengannya tapi tidak tergores sama sekali. Atau aksi yang lain dimana leher si tukang sulapnya diikat dengan tali dan ditarik-tarik penonton tapi tidak apa-apa. Mungkin ini kalau kejadiannya zaman now sudah viral di social media dan pihak sekolahnya kena teguran karena membiarkan anak-anak di bawah umur menonton ini.

Setelah semua atraksi selesai, kami semua merasa terhibur dan memang tukang sulap masuk SD ini hanyalah hiburan belaka. Dimana pada zaman saya SD hiburan masih sedikit, televisi masih hitam putih dan baru TVRI chanel-nya saja. Itu juga mulai jam 16.30.

Kalau mau mengkhayal, kegiatan tukang sulap masuk sekolah ini tidak hanya menghibur saja tapi juga menyulap warna merah di rapot menjadi biru, menyulap anak bodoh menjadi pandai. Ah, kalau ini mah para bapak ibu guru kami yang menjadi tukang sulapnya.


#DWC30
#Squad 1
#Jilid 10
#Day17

Kehilangan Anggota Keluarga

Pernah tidak kita kehilangan saudara kita atau anggota keluarga kita? Kehilangan di sini bukan berarti mereka menjadi korban penculikan atau hilang tidak bisa pulang. Kehilangan ini berupa ketika kita mendapati anggota keluarga kita berbeda antara yang kita kenal dan orang lain kenal.

Saya pernah mengalami baik itu saya yang "dianggap hilang" atau mendapati saudara yang berbeda citra antara di rumah dengan di luar rumah. Saya mempunyai saudara yang jarak usianya hanya terpaut satu tahun dan kebetulan mengenyam pendidikan di sekolah yang sama. Karena sekolah yang sama jadi saya bisa mengenal teman-teman adik saya.

Citra adik saya yang terbangun di antara teman-temannya dengan di rumah bisa bertolak belakang. Dia dikenal orang yang humoris, ramah dan banyak bicara. Namun kalau di rumah kebalikannya. Jarang bicara. Bicara kalau ditanya saja. Boro-boro membuat lelucon, dia mau bicara kalau ditanya. Kalau tidak ditanya tidak pernah keluar suara sedikit pun.

Mengapa hal itu bisa terjadi? Kita kembali ke pengertian keluarga itu apa. Berdasarkan departemen kesehatan Republik Indonesia tahun 1988 keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri atas kepala keluarga dan beberapa orang yang terkumpul dan tinggal di suatu tempat di bawah suatu atap dalam keadaan saling ketergantungan. Dari sini keluarga mempunyai ciri-ciri* :
1. Terdiri dari orang-orang yang memiliki ikatan darah atau adopsi.
2. Anggota suatu keluarga biasanya hidup bersama-sama dalam satu rumah dan mereka membentuk satu rumah tangga.
3. Memiliki satu kesatuan orang-orang  yang berinteraksi dan saling berkomunikasi, yang memainkan peran suami dan istri, bapak dan ibu, anak dan saudara.
4. Mempertahankan suatu kebudayaan bersama yang sebagian besar berasal dari kebudayaan umum yang lebih luas.

Setelah saya analisa mengapa kami pernah menjadi orang yang hilang atau kehilangan saudara sendiri ternyata penyebabnya di poin 3. Kami memang memiliki ikatan darah, berkumpul satu tempat. Namun interaksi dan komunikasi kita kurang. Kita lebih banyak berinteraksi dengan orang di luar rumah. Sehingga orang luar lebih mengenal kita dari pada anggota keluarnya sendiri. Hal ini bisa jadi karena waktu yang terbatas atau memang anggota keluarga tidak berperan dengan semestinya. Makanya pada satu acara keluarga, adik saya ini pernah curhat bahwa dia merasa keluarga ini dingin, tidak memberikan kehangan seperti yang ditawarkan di luar sana.

Kejadian ini menjadi bahan introspeksi diri kita semua. Mungkin orang tua kita yang merupakan produk lama memberikan saham dalam hal ini. Orang tua zaman dulu seperti itu: dingin, tidak ekspresif, jarang bicara. Tapi kita kita bisa menyalahkan siapa-siapa. Yang penting adalah kita berusaha mengembalikan anggota keluarga kita yang hilang. Kami mulai membuat sarana-sarana untuk membangun interaksi dan komunikasi sesama anggota keluarga. Arisan dan group whatsapp adalah satu upayanya.

Mudah-mudahan kita tetap bisa menjadi satu keluarga. Baik di dunia maupun di akhirat nanti. Dan jangan ada lagi yang menjadi anggota keluarga yang hilang.

#DWC30
#Squad 1
#Jilid 10
#Day16


Mengapa Kita Tidak Khusyuk Dalam Sholat

Sholat adalah salah satu media untuk mengingat Alloh Subhana Wa Taala. Namun ketika sholat yang muncul dalam ingatan adalah selain Alloh.

"Allahu Akbar" ketika kita mulai takbiratul ikhram. Tiba - tiba :

"Eh baru ingat, hand phone gua simpan di laci meja." Barang yang lupa disimpan entah dimana, tiba-tiba jadi ingat dimana letaknya.
"Eh, laporan bulanan buat boss belum kelar juga. Diapain lagi ya? Tinggal analisinya aja." Ingat sama pekerjaan yang belum selesai.
"Eh, bagus juga ya ini jadi ide tulisan?" Jadi pembaca tahu kan tulisan ini munculnya kapan hehehe.

Yang membuat heran, kenapa sih setiap sholat hal-hal seperti itu jadi teringat. Padahal enggak pakai niat.
"Aduh, dimana ya handphone saya? Sholat dulu ah, biar ingat." Enggak juga kan?
Yang saya tahu kan jadikan sholat itu sebagai penolongmu, bukan sebagai pengingatmu. Sholatlah maka kamu akan tenang. Bukan sholatlah maka kamu akan ingat.

Mengapa kita tidak khusyuk dalam melaksanakan sholat? Karena kita disibukkan oleh urusan dunia. Ketika kita takbiratul ihram kita tidak meninggalkannya. Makanya ketika sholat kita akan teringat akan hal-hal di luar urusan mengingat Alloh Subhana Wa Taala. Maka ingatlah handphone yang tempatnya dimana, kerjaan yang selesai dan lain-lain.

Padahal orang yang lalai dalam sholatnya adalah orang yang celaka seperti tertera di dalam Al-Quran.
“Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya,“(QS Al Ma’un: 4-5). Dan kita tidak akan mendapatkan manfaat apa-apa dari shalat itu sendiri. Baik manfaat di dunia maupun di akhirat.

Keuntungan yang diperolah dari sholat yang pertama adalah  sholat adalah menjadi indikator diterima tidaknya amalan-amalan lainnya.
“Amal yang pertama-tama ditanyai Allak pada hamba di hari kiamat nanti ialah amalan shalat. Bila shalatnya dapat diterima, maka akan diterimu seluruh amalnya, dan bila shalatnya ditolak akan tertolak pula seluruh amalnya.” (HR Ahmad, Abu Dawud)

Yang kedua sholat berfungsi mencegah dari perbuatan keji dan munkar. Kalau kita sudah sholat, namun masih melakukan perbuatan keji dan munkar bisa jadi ada masalah dengan sholat kita. Sholat kita belum khusyuk.

Maka mulai dari sekarang kita berusaha untuk sholat dengan khusyuk.

#DWC30
#Squad 1
#Jilid 10
#Day15

Memberikan Manfaat Untuk Sekitar

Dalam sebuah sarapan pagi di hotel kami baru bisa bertegur sapa. Sambil menikmati makanan yang rendah karbo, karena kalau usia sudah "dewasa" air saja bisa menjadi lemak, kami banyak bertukar fikiran tentang apa saja.

Teman saya ini sudah lama tidak bertatap muka secara langsung. Selama ini kami banyak berinteraksi di group whatsapp alumni tempat dulu sekolah. Dia menceritakan tentang rencana-rencanaya: bisnisnya masih berjalan dengan baik, menjadi konsultan paruh waktu, merambah ke properti dan pembangkit listrik tahun depan.

Saya tahu, teman saya ini bukan untuk berniat sombong. Dan dia melakukan ini bukan semata-mata mencari materi saja. Kalau dia mau, dia tidak usah keluar dari tempat kerja sebelumnya. Di tempat kerja sebelumnya teman saya ini merupakan "putra mahkota" perusahaan. Dia disiapkan untuk menjadi direktur. Dan benar suksesor dia sekarang sudah nangkring jadi direktur.

Makanya ketika dia memutuskan untuk resign, atasan dan koleganya keheranan atas keputusannya. Mungkin orang akan mencap gila atas keputusannya. Dan dia tidak merasa kehilangan apa-apa, karena memang dia punya tujuan yang lebih tinggi: memberikan manfaat ke sekitarnya. Dia berpendapat kalau masih masih bertahan di tempat yang lama ini, nilai manfaatnya sedikit sekali.

Setelah percakapan yang cukup singkat, karena dia harus buru-buru mengejar pesawat pagi hari untuk urusan bisnis lainnya, saya berfikir berusaha merefleksikan isi pembicaraan kami dengan kehidupan saya. Kalau mau membuat perbandingan saya dengan dia, bukanlah perbandingan apple to apple. Beda levelnya. Beda achievement-nya.

Saya selalu mencari benang merah sesuatu yang substansial diantara teman-teman saya. Kalau kita bertemu dengan teman yang sudah jadi pengusaha karet yang sukses yang mainannya sudah ekspor, teman yang sedang meniti karir maju pilkada di sebuah kota di Jawa Barat atau yang sudah jadi ketua DPRD di Jawa Tengah tentu saya tidak bisa mengikuti jejak mereka. Ini bukan apologi atau pembenaran atas posisi saya.

Bayangkan teman saya yang sudah menjadi pengusaha sukses ini sudah memulai usaha ketika masih berseragam putih abu-abu dimana saya masih galau memilih jurusan IPA atau IPS. Teman saya yang menjadi ketua DPRD sudah meniti karir politiknya sejak dulu. Ketika kuliah dia sudah menjadi ketua kepemudaan level kota sebuah partai, dimana saya masih bingung habis kuliah mau kerja atau bisnis.

Yang terjadi biarlah sudah terjadi, tapi semangat perbaikan harus kita lakukan. Saya harus menjadi pribadi yang lebih baik. Kembli benang merahnya apa antara saya dan teman-teman. Sejauh ini yang saya dapat adalah sama-sama memberikan manfaat kepada sekitarnya. Dan untuk hal ini tidak perlu kita menjadi presiden atau orang terkaya sedunia. Dengan melakukan hal yang sederhana kita bisa memberikan manfaat yang luas. Seperti Bunda Theresia yang menolong para penderita kusta, Pak Sariban yang menjaga kebersihan kota Bandung dan lain sebagainya. Tidak diperlukan pemikiran yang cemerlang untuk melakukan hal itu asalkan dengan niat yang ikhlas, dikerjakan dengan sungguh dan konsisten itu akan memberikan manfaat kepada lingkungan. Inilah poin yang saya tangkap dari pembicaraan teman saya ini. Duh, tidak terbayang kalau surga ini hanya berdasarkan sedekah materi, maka surga hanyalah milik orang-orang kaya. Maka marilah kita berbagi manfaat dengan kemampuan yang kita miliki.

#DWC30
#Squad 1
#Jilid 10
#Day14

Friday, December 8, 2017

Antara Mengantuk dan Menulis

Jam di kamar hotel tempat saya menginap sudah menunjukkan waktu 22.31. Ini artinya saya masih mempunyai waktu sebanayak 88 menit sebelum tenggat mengumpullkan tulisan di hari ke-13 ini. Tiga hari kedepan saya sedang berada di kota Yogyakarta mengikuti kegiatan tahunan dari kantor.

Sudah sejauh ini, detik demi detik bertambah belum ada satu ide tulisan yang keluar dari kepala. Sedari tadi mata hanya memandangi layar laptop yang masih kosong. Saya masih bingung mau menulis tentang apa. Sementara mata ini sudah mulai mengantuk, badan terasa lelah minta dibaringkan di atas kasur.

Perlu diketahui bahwa saya suka mempromosikan keikutsertaan saya dalam mengikuti tantangan 30 hari menulis ini.

"Pak Hasan bawa laptop?" Tanya peserta yang lain setiap saya kedapatan membawa laptop.
"Iya." Jawab saya pendek. Memang untuk acara akhir tahun ini tidak diwajibkan membawa laptop. Karena memang tidak diperlukan.
"Saya membawa laptop karena saya sedang mengikuti tantangan 30 hari menulis."
"Oooo."
"Saya harus mengirimkan tulisan setiap hari minimal 200 kata. Tenggatnya nanti malam. Jam 12 malam kurang satu menit. Kalau tepat waktu dapat 2 point. Kalau telat 1 point. Kalau tiga kali berturut-turut tidak mengirimakan tulisan maka kita dikeluarkan dari group menulis ini."
Begitulah saya mempromosikan kegiatan ini.

Sebenarnya saya tidak bermaksud riya dengan mempromosikan keikutsertaan saya di kegiatan ini. Ini lebih untuk memotivasi saya dalam menulis. Dengan diketahuinya saya mengikuti kegiatan ini oleh rekan-rekan kerja, maka semakin banyak pihak yang mengawasi saya.
"Bapak nulis apa?" Ada yang menanyakan begitu.
"Saya menulis apa saja. Yang penting selama 30 hari ini kita harus menulis."

Karena pertanyaan-pertanyaan sejenis maka saya akan berusaha untuk menulis setiap hari.
"Terus saya mau nulis apa?"Tanya saya dalam hati.

Saya memilih tidur saja.


#DWC30
#Squad 1
#Jilid 10
#Day13


Thursday, December 7, 2017

Kemewahan Itu Bernama Buku

Waktu kuliah dulu saya punya seorang teman yang suka membaca dan menulis. Setiap bertemu selalu bertanya,"Lagi baca buku apa Kang?" Kemudian saya akan menceritakan isi buku yang baru saya baca kepadanya. Karena masa kuliah waktunya lebih leluasa saya masih sempat membaca buku-buku di luar kuliah.

Setelah selesai terkadang dilanjutkan dengan diskusi ringan membahas isi buku tersebut dan kemudian merembet membahas kemana-mana. Terkadang di akhir diskusi dia suka berkata:"Wah saya jadi punya ide untuk membuat tulisan,"katanya. Dan biasanya dia benar-benar membuat sebuah tulisan. Tulisannya ini kemudian ditunjukkan kepada saya pada pertemuan berikutnya.

Sebenarnya pada dasarnya saya suka membaca dan menulis seperti teman saya ini, tapi genre yang berbeda. Tulisan dia lebih berbobot yang kebanyakan membahas permasalahan kehidupan dari sudut agama Islam dengan pendekatan pemikiran atau akal. Terkadang dalam pembahasannya disajikan dalam sebuah cerita ringan. Sehingga apa yang dia bahas, walau pun berat dan kompleks, namun bisa dicerna oleh siapa pun yang membacanya.

Kalau saya mah menulis cerita sehari-hari yang hanya sebuah cerita tanpa membawa pesan yang berat-berat seperti teman saya. Isi tulisannya tidak lebih dari apa yang disajikan. Tak ada pesan besar di balik itu semua.

Itu cerita beberapa tahun yang lalu. Sekarang kondisinya berbeda. Dan saya sudah tidak bertemu dengan teman saya ini sudah bertahun-tahun lamanya. Selain disibukkan oleh pekerjaan masing-masing, juga karena kami tinggal di kota yang berbeda.

Saya tidak bisa membayangkan perubahan wajah dia sekarang, kalau bertemu dan melontarkan pertanyaan yang sama seperti tahun-tahun sebelumnya:""Lagi baca buku apa Kang?" Saya akan menjawab:"Sudah lama nih enggak baca buku."

Pasti dia tidak percaya jawaban saya. Dia seperti bertemu dengan para kaum bumi datar. Dan saya tidak mau berbohong kepadanya bahwa saya memang sudah jarang sekali, kalau tidak mau dibilang tidak pernah membaca buku.

Sejak bekerja saya jarang membaca buku, kecuali buku-buku yang ada hubungannya dengan pekerjaan. Penyebabnya adalah keterbatasan waktu yang ada. Selain karena bekerja, waktu luang di akhir pekan habis untuk bercengkrama dengan anak-istri yang di hari-hari kerja sangat jarang bisa berinteraksi lama-lama.

Terkadang ada keinginan untuk bisa membaca buku-buku dengan tema yang saya sukai. Dan saya suka iri kalau membaca status teman atau seseorang di social media yang masih bisa membaca buku dan membuat tulisan. Minimal mereka membuat statusnya cukup berisi dan menawarkan sebuah pencerahan.

Ya boleh dibilang membaca buku itu adalah sebuah kemewahan buat saya. Di saat saya mampu membeli banyak buku, tidak seperti kuliah dulu, ironisnya saya tidak mampu untuk membukai lembar demi lembar halaman buku itu. Meresapi baunya, membaca setiap katanya dan membayangkan dalam fikiran. Ah, benar-benar sebuah kemewahan.

Lantas apakah saya berdiam diri saja? Tentu tidak. Sampai saat ini saya masih menyimpan keinginan ini kuat-kuat. Dan dengan mengikuti kegiatan tantangan 30 hari menulis itu juga salah satu upaya buat saya untuk mereguk kenikmatan membaca buku. Cepat atau lambat saya akan kembali kepadamu : buku.

#DWC30
#Squad 1
#Jilid 10
#Day12



Wednesday, December 6, 2017

Gang Buntu

Ada pada satu waktu Lu berhenti di satu titik. Enggak maju. Enggak mundur. Enggak kemana-mana. Asli di situ aja.

Semuanya berhenti dan kayak nabrak tembok aja. Temboknya tebel banget. Lu enggak bisa ngapa-ngapain.

Marah? Sedih?
Lu boleh marah. Lu boleh sedih tapi itu enggak ngerubah apa-apa. Cuma menghabiskan fokus dan energi aja.
Akhirnya cuma capek aja yang Lu dapet.

Terus gua harus gimana?
Enggak ada.
Enggak ada?
Iya beneran enggak ada.
Sumpah Lu?  Serius?
Mau duarius? Ayo!

Iya sih emang sedih. Nyesek. Kalau pas di posisi itu.

Lu kalau mau nangis, nangis aja deh. Enggak usah ditahan-tahan.
Nanti kalau ada yang tanya, bilang aja mata gua lagi kelilipan.
Kelilipan kok kayak nangis?
Bilang aja kelilipan debu segede gajah!

Terkadang kita perlu nangis. Dan nangis bukan berarti cengeng atau hanya milik perempuan aja.
Semua yang namanya mahluk pasti butuh nangis.

Tapi gua enggak pernah dengar semut nangis?
Semut nangisnya kayak gini oooaaaa ooooaaaa itu katamu (pake suara Melisa "Si Abang Tukang Bakso").

Nangisnya udah belum?
Belum.

Udah belum?
Belum.

Lama amat sih?
Cerewet Lu!

Tadi malu-malu mau nangis, sekarang keterusan. Udah?

Udah.

Gimana
rasanya sekarang?
Plong. Gua memang butuh nangis.

Terus?
Gua pasrah ngejalanin.

Terus?
Gua yakin semua ada jalan keluarnya. Tinggal masalah waktu dan tempat aja.

Terus?
Terus, terus. Kayak tukang parkir aja. Udah!

Nah itu Lu tahu.



#DWC30
#Squad 1
#Jilid 10
#Day11

Doa Pamungkasnya

Emak saya pernah curhat ke saya soal anak dan mendidik anak zaman sekarang.
"Dulu punya anak banyak (orang tua saya punya 7 orang anak) ngurusnya enggak susah kayak sekarang." Katanya. "Masalahnya paling enggak punya beras atau enggak punya duit. Beras enggak punya tinggal minjem. Pusingnya hilang. Enggak punya duit, tinggal ngutang di warung."

Emak saya berkata seperti itu karena ada anak saudara saya yang susah ditangani. Beberapa harus pindah sekolah. Untung orang tuanya berkecukupan.

Saya sangat mengagumi orang tua saya terutama emak saya. Termasuk ibu-ibu kita zaman dahulu. Dulu namanya sekolah islam terpadu, sekolah plus (baca sekolah mahal) belum ada. Anak-anaknya dimasukkan ke sekolah negeri tanpa tambahan les ini itu. Ilmu parenting belum dikenal.Buku dan seminar-seminarnya belum ada sama sekali (Bu Eli Rismannya masih menuntut ilmu). Tapi hasilnya anaknya enggak ngaco-ngaco amat. Boleh dibilang hidupnya lurus-lurus saja. Semuanya menyelesaikan pendidikan dengan baik. Alhamdulillah di sekolah negeri semua. Soal di sekolah negeri, Bapak saya mengancam tidak akan menyekolahkan anak-anaknya kalau tidak masuk negeri. Tidak ada uangnya.

Setelah saya pelajari dan direnungkan ada dua senjata orang tua saya dalam mendidik anak. Mereka tidak pernah putus sholat malam dan puasa sunah senin kamisnya. Bisa jadi ilmu parenting mereka tidak sebanyak kids zaman now, tapi doa-doa mereka tentang anaknya lebih didengar oleh Maha Kuasa. Dan doa orang tuanya untuk anaknya itu tidak tertolak. Makanya dulu kalau saya dan saudara-saudara mau ujian atau punya masalah yang tidak tidur bapak dan emak saya. Mereka memperpanjang sujud dan munajat untuk keberhasilan dan kebaikan anak-anaknyaa.

Mempelajari ilmu parenting itu bagus, memasukkan anak-anak kita ke sekolah plus itu bagus. Tapi jangan lupa diiringi doa kita sebagai orang tua kepada Allah Subhana wa taala karena Dia yang mengizinkan semuanya terjadi.

#DWC30
#Squad 1
#Jilid 10
#Day10

Tuesday, December 5, 2017

Anjing dan Babi


Kenapa sih kalau memaki itu harus bawa-bawa nama binatang?
Misal :
Anjing Luh!
Babi Luh!
Orang Luh! Eh salah ini bukan umpatan.

Saya juga enggak mengerti mengapa orang memaki dengan kata-kata itu. Orang tidak pernah memaki seperti ini :
Raja Luh!
Artis Luh!
Ini mah bukan memaki namanya. Tapi memuji.
Seperti kita ketahui juga nama binatang yang sering digunakan adalah, maaf, anjing dan babi. Entah mengapa hal ini terjadi. Mungkin kalau kalau anjing dan babi ini bisa ngomong barangkali mereka akan protes kayak gini :

Yaelah, salah gua apa sih kalau lagi marah nama gua yang dibawa - bawa?
Ya Tuhan, apa salah hamba kok nama hamba jadi tercoreng begini?

Sementara itu ketika seekor babi sedang merutuki nasibnya, tiba - tiba ada seekor anjing berlari hampir menabrak babi.

"Anjing Luh!" Maki babi dengan nada tinggi karena kaget.
"Babi Luh!" Balas sang anjing dengan tidak kalah kerasnya.

Sejenak dua mahluk ciptaan Tuhan ini terdiam. Saling menatap satu sama lain.
"Kok babi bisa ngomong?" kata anjiing dalam hati.
"Eh, gua kirain anjing cuma bisa menggonggong aja?" Kata babi dalam hati juga.

Namun momen ini hanya berlangsung sekian detik saja. Setelah itu babi dan anjing saling tertunduk lesu. Ternyata, memang enak memaki dengan kata anjing dan babi memaki itu tidak boleh. Bisa melukai perasaan seekor eh seseorang.

#DWC30
#Squad 1
#Jilid 10
#Day9


 

Monday, December 4, 2017

Mengapa Kita Suka Menggaruk-Garuk Kepala Ketika Bingung?

Mengapa kita suka menggaruk-garuk kepala ketika bingung? Tidak bisa menjawab soal ulangan matematika, tangan kita langsung menggaruk-garuk kepala. Otak buntu ketika sedang mencari solusi permasalahan di tempat kerja, tangan kita langsung menggaruk-garuk kepala. Padahal saya yakin kalau kita melakukan hal itu, tidak otomatis jawabannya langsung keluar. Kalau bisa begitu wah enak banget. Semuanya bisa dipecahkan dengan hanya menggaruk-garuk kepala.
"Siapa Presiden Amerika yang ke-6?"
"Sebentar Pak, saya garuk-garuk kepala dulu." Tak berapa lama kemudian, "Jhon Quincy Adams!"
"Seratus!"

Mengapa kita menggaruk-garuk kepala ketika bingung? Dari pada mukulin orang lebih baik garuk-garuk kepala, ada yang jawab begitu. Karena penasaran dengan fenomena menggaruk-garuk kepala padahal tidak gatal maka saya iseng-iseng googling. Hasilnya cukup menarik. Ternyata menggaruk kepala, menggosok tangan atau mengusap pelipis itu bisa menjadi beberapa gestur yang dilakukan ketika merasakan stress (http://lifestyle.kompas.com/read/2017/09/28/125001920/ternyata-inilah-manfaat-positif-garuk-kepala-saat-stres). 
Peneliti dari University of Plymouth menghabiskan delapan bulan penelitian di Puerto Riko untuk mempelajari seekor kawanan kera rhesus. Peneliti menonton secara khusus gestur kera, khususnya saat kera menggaruk tubuhnya. Tim peneliti lalu menemukan beberapa pola sosial yang menarik.
Pertama, kera lebih cenderung menggaruk saat terjadi peningkatan tekanan sosial, seperti bergaul dengan individu yang berpangkat tinggi atau yang tidak mereka kenal dengan baik.
Kedua, ketika kera menggaruk bagian tubuhnya di depan kera lain sebagai gestur stres, cara itu dapat menurunkan 25 persen risiko adanya kera lain yang menjadi agresif, bahkan membuat kera lain cenderung bersikap ramah.
Para periset berpikir, kera juga bisa mengenali kawanannya yang sedang dan membuat mereka tidak ingin berinteraksi lebih jauh.
“Penyerang potensial dapat menghindari untuk menyerang individu yang terlihat stres atau tertekan. Alasannya karena orang yang tertekan dapat berperilaku yang tidak dapat diprediksi seperti memberikan agresi berisiko atau perilaku yang tidak perlu, "kata para peneliti dalam makalah mereka.
Jadi, menurut peneliti, alasan mengapa Anda menggaruk kepala atau melakukan gestur lain saat sedang stres adalah untuk mengatakan kepada dunia bahwa Anda sedang stres. Dan itu diharapkan bisa membuat dunia sedikit lebih baik terhadap Anda sebagai balasannya.
"Ooo berarti kemarin-kemarin saya sedang stress ya."Kata saya sambil menggaruk-garuk kepala. Bingung juga stress kenapa he he he.


#DWC30
#Squad 1
#Jilid 10
#Day8






Saturday, December 2, 2017

Siapa Saya?

Pernah dalam satu waktu saya melamun menguruti teman - teman sekolah dan kuliah dulu serta bagaimana kondisi mereka sekarang. Ada yang menjadi pengusaha sukses, ada yang jadi wakil bupati di daerah Jawa Barat, ada yang menjadi pilotnya Pak Jokowi, ada yang menjadi general manager, ada yang jadi anggota DPRD di daerah Jawa Tengah, ada yang menjadi pejabat eselon satu di kotamadya, ada yang jadi dosen dan lain sebagainya.Wah ternyata saya berteman dengan orang - orang hebat ya.

Dalam membina pertemanan ada dua hal yang saya yakini dan saya berusah pegang sampai sekarang. Yang pertama walau pun teman - teman saya hebat namun saya berusaha tidak mau mengambil manfaat atas pertemanan ini. Misalnya meminta kemudahan suatu urusan terkait birokrasi, meminta jatah proyek dan lain sebagainya. Karena prinsip saya, saya berteman dengan mereka karena mereka orang - orang baik dan kami sudah berteman jauh sebelum menjadi "apa - apa", ketika kami masih penuh semangat (sekarang juga masih) dan unyu - unyu.

Berarti konsekuensinya adalah saya berteman dengan siapa saja asal orangnya baik apa pun title yang menyangkut di mereka. Dari mana asal mereka, apa pekerjaan mereka, miskin atau kaya, darah biru atau bukan itu tidak menjadi masalah. Mudah - mudahan saya konsisten di sini.

Yang kedua saya tidak mau diri saya dideskripsikan sebagai "obyek penderitaan" kehebatan teman - teman saya. Siapa Hasan? Hasan itu adalah temannya Si A yang menjadi pilotnya Pak Jokowi. Hasan itu adalah temannya Si Anu yang sekarang menjadi pengusaha sukses. Saya tidak mau begitu. Saya ingin dideskripsikan sebagaimana saya. Siapa saya? Saya ini seorang pekerja di perusahaan kosmetika, seorang blogger paruh waktu dan penulis amatir. Itu saja!


#DWC30
#Squad 1
#Jilid 10
#Day7

Tulisan Ini Tidak Mengandung Bahan Kimia

Sebagai seorang yang pernah kuliah di jurusan kimia saya suka tersenyum kalau membaca etiket atau ulasan dari beberapa obat herbal. 100% bahan alami tidak mengandung bahan kimia.
Mungkin yang dimaksud di sini adalah bahan kimia yang berbahaya, bukan bahan kimia secara keseluruhan. Nah kalau ini saya setuju. Karena kalau disebut bahan kimia saja, bahan - bahan herbal yang digunakan itu mengandung zat kimia kimia juga. Misalnya madu. Madu itu mengandung zat - zat kima berupa fruktos, glukosa, maltosa, sukrosa, air, gula dan zat – zat lainnya. Zat – zat lainnya ini beberapa senyawa dianggap berfungsi sebagai antioksidan, termasuk chrysin, pinobanksin, vitamin C, katalase, dan pinocembrin.
Dan tidak usah jauh - jauh air yang kita minum dan udara yang kita hirup untuk mengandung zat kimia. Air rumus kimianya dihidrogen oksida (H2O) dan udara mengandung oksigen yang rumus kimianya O2.
Dan jangan heran juga kita sebagai manusia menghasilkan zat kimia juga. Ketika bernafas kita menghasilkan karbon dioksida. Ketika kita, maaf kentut menghasilkan bahan kimia juga. Gas kentut terdiri dari 59 persen nitrogen, 21 persen hidrogen, 9 persen karbon dioksida, 7 persen metana dan 4 persen oksigen. Hanya sekitar satu persen dari kentut mengandung gas hidrogen sulfida dan merkaptan, yang mengandung sulfur. Sulfur inilah yang membuat kentut berbau busuk. Banyak bener ya zat kimianya ya? 

#DWC30
#Squad 1
#Jilid 10
#Day6

 

 


Thursday, November 30, 2017

Ada Gula Ada Semut

Success has many father, failure is an orphan.
Kesuksesan mempunyai banyak ayah sedangkan kegagalan adalah yatim piatu.


Peribahasa berbahasa Inggris di atas kalau secara bebas diartikan adalah sebagai berikut. Ketika ada sebuah kesuksesan maka banyak pihak yang mengklaim ada sumbangsihnya di dalamnya. Namun ketika kegagalan tak seorang pun mengakui karenanya. Begitulah kira - kira.

Namun buat saya, peribahasa ini memiliki arti yang lain. Kalau seorang yang sukses itu memiliki teman atau banyak yang mengaku - ngaku temannya. Sedangkan kalau orang gagal temannya sedikit atau banyak tidak mengakui sebagai temannya.

Untuk lebih jelasnya saya beri contoh sebagai berikut. Saya dulu mempunyai seorang teman. Ketika sekolah teman ini hanya fokus pada belajar saja (study oriented) tidak ikut berbagai macam kegiatan ekstrakulikuler. Akibatnya dia tidak memiliki banyak teman. Dia hanya dikenal oleh teman - teman sekelasnya. Berbeda dengan saya yang memang banyak mengikuti kegiatan ekstrakuliker.

Setelah lulus sekolah teman saya ini meneruskan usaha orangnya. Berkat kerja kerasnya, usaha orang tuanya ini berkembang dengan pesat. Cabangya ada di mana - mana. Ketika ini terjadi, maka banyak yang dulu tidak kenal, jadi kenal sama teman saya ini. Bahkan teman saya ini sering minta konfirmasi ke saya .

Teman saya (TS) : San, kalau si ini dulu kelas berapa ya?
Saya (S) : Kelas IPA 2. Memangnya kenapa?
TS : Kemarin kontak gua. Nawarin kerja sama. Kalau menurut Lu, orangnya gimana?

Sebagai contoh kedua adalah tempat saya bekerja sebelumnya. Dulu ketika perusahaan ini masih kecil, banyak supplier bahan baku atau kemasan (packaging) besar yang menolak melayani kami. Untuk janji ketemu saja susahnya setengah mati. Sales represntative - nya menolak bertemu di pabrik di Tangerang karena jauh. Inginnya bertemu di kantor Jakarta saja. Sekarang dengan perusahaan sebesar ini, jangankan salesnya, principle-nya yang orang asing mau bertemu dengan atasan saya. Mereka bela - belain untuk bertemu.

Pernah ada kejadian lucu. Seorang sales manager produk kemasan menawarkan barangnya. Atasan saya meng-skak-mat. "Dulu Bapak enggak ke sini. Saya mau pesen barang enggak di-follow up." Walau pun sudah terpojok, namanya sales, masih bisa berkelit sambil ketawa - ketawa. Bukan sales kalau enggak bisa ngeles, kata teman saya yang seorang sales tulen.

Sebuah kesimpulan yang saya dapat adalah dalam membina sebuah hubungan, pada umumnya orang akan melihat nilai tambah apa (baca materi) yang dia dapat. Semakin besar nilai tambahnya, maka semakin banyak orang yang mau membina hubungan dengan kita. Namun sebagai orang yang baik, kita dalam membina hubungan bukan berdasar atas itu tapi atas dasar nilai - nilai kebaikan.

#DWC30
#Squad 1
#Jilid 10
#Day 5