Friday, December 22, 2017

Pena Ayah

Di suatu malam di dalam sebuah rumah megah di pinggiran kota Jakarta. Di ruang tamunya yang luas, berkumpul anak dan menantu Pak Indra mengelilingi Pak Imam. Malam ini akan ada pembacaan surat wasiat.
"Anak-anakku sekalian. Saya mau membacakan isi dari kertas ini. Ini adalah surat wasiat dari Bapak kalian."
Tak ada satu suara yang keluar. Semuanya menyimak ucapan Pak Imam.
"Anak-anakku, ketika surat wasiat ini dibacakan, tentu Bapak sudah tidak hadir di antara Kalian. Melalui surat ini Bapak mau berwasiat. Harta Bapak yang tersisa hanyalah rumah ini."

Belum selesai surat wasiat dibacakan, mulai terjadi kegaduhan.
"Pak Imam, apa benar isi surat wasiatnya?"Tanya Yanto anak tertua dari Pak Indra. Pak Imam tidak menggubrisnya, dia melanjutkan pembacaan surat wasiat.
"Harta Bapak berupa tanah dan perusahaan beserta aset yang lain sudah tergadaikan untuk membayar hutang-hutang Bapak. Hal ini disebabkan oleh Bapak suka berjudi. Bapak berharap kalian tidak mengikuti kebiasaan Bapak berjudi. Sekarang silahkan kalian bagian warisan yang ada secara ketentuan agama."
Pak Imam, berhenti membacakan surat wasiat.
"Pak Imam apa benar, warisan bapak tinggal ini?"Tanya Yanto.
"Kalau menurut surat ini, betul Mas Yanto."
"Enggak mungkin!"Kata Yanto dengan nada pedas.
"Iya enggak mungkin." Yang lain ikut-ikutan menimpali.
"Saya hanya menjalankan amanah bapak kalian."

Setelah beberapa lama, Pak Imam mengeluarkan kertas berikutnya.
"Itu kertas apalagi?" Tanya yang perempuan. Namanya Titik. Dia anak kedua.
"Anak-anakku, Bapak mau menitipkan surat permohonan maaf untuk ibu kalian. Bapak yakin ibu kalian tidak hadir di pemakaman Bapak." Pak Imam membacakan isi sampul kertas itu.

"Ibu pasti tidak mau memaafkan."Kata Titik."Bapak telah selingkuh dengan perempuan itu."
Suasana kembali ribut. Pak Imam hanya terdiam, tanpa berusaha mendiamkan mereka. Anak-anak almarhum terus berbeda pendapat. Setelah sekian lama ribut satu persatu anak dan manantu meninggalkan ruang tengah itu.

"Pak Imam. Kami semua tidak bisa menjalankan permintaan Bapak."Kata Yanto mewakili saudara-saudaranya. Setelah itu mereka pergi.  Ruang tamu yang tadi rama menjadi sepi. Pak Imam duduk terpekur sendrian.
"Pak Imam," tiba-tiba ada sebuah suara mengangetkan Pak Imam. Suara tersebut dari Harry yang merupakan anak bungsu Pak Indra.
"Eh, Mas Harry."
"Bolehkah saya melihat semua surat wasiat Bapak?"Tanya Harry sambil mendekati Pak Imam.
"Silahkan, silahkan Mas Harry."

Harry, mengamati surat wasiat. Dia pandangi tulisan sambung miring ke depan khas orang-orang dulu. Harry tersenyum.
"Pak Imam, ini bukan tulisan Bapak. Saya minta lihat surat wasiat asli Bapak"
"Loh, masak saya bohong Mas Harry?"
"Memang secara tulisan ini mirip sekali dengan tulisannya Bapak. Tapi kalau dari tintanya, Bapak tidak pernah menggunakan pulpen untuk menulis. Bapak biasanya menggunakan pena merk Parker yang menggunakan tinta cair. Tulisan ini mirip sekali namun tidak ada bleberan tinta cair. Bapak walau tulisannya rapih, biasanya suka adasedikit bleberan tinta dari pena yang dia pakai." Harry menjelaskan semuanya.

Pak Imam tersenyum kagum atas penjelasan Harry.
"Saya sering menemani Bapak di ruang kerjanya. Bapak selalu menolak memakai pulpen saya, kalau penanya tidak ada di tempat. Dia lebih memilih tidak menulis sampai penanya kembali atau beli yang baru." Harry menambahkan.

"Mas Harry, kamu memang anak Indra sejatinya."


#30dayswritingchallenge
#30dwc
#jilid10
#squad1
#day27
#bertema#pena

0 comments:

Post a Comment