Thursday, July 19, 2012

Andai Aku Menjadi Guru (sejarah)





oleh : hasan abadi kamil

Pernah dalam fikiran ini terlintas ide yang hadir begitu saja : Bagaimana kalau saya jadi seorang guru?

Tetapi hal itu mudah difikirkan dan diucapkan namun hampir mustahil untuk dilaksanakan. Kalau ditanya alasannya, cukup banyak untuk mementahkannya : ketuaan, pendidikan tidak mendukung, tidak ada kesempatan dan memang ada yang mau?

Kalau saya jadi guru maka saya akan memilih sebagai guru sejarah (plus kimia, karena pendidikan formal terkahir saya adalah sarjana kimia).

Saya akan mengajarkan sejarah seperti saya menyukainya. Saya akan berikan buku – buku referensi sebagai bahan pengayaan di luar bahan resmi dari pemerintah untuk sejarah. Malah beberapa referensi tersebut berupa novel dan kumpulan puisi. Tentu menyenangkan bukan kalau belajar sejarah seperti membaca novel yang tak dilepas sampai halaman terakhir. Dan sangat keren ketika beberapa bait puisi kamu tuliskan ulang di buku atau di tembok – tembok.

Beberapa buku karangan Soe Hok Gie akan saya rekomendasikan untuk dibaca. Buku karangan Bung Karno, Bung Hatta dan Tan Malaka tidak lupa saya sertakan. Beberapa novel Pramoedya dan Muchtar Lubis, tidak lupa untuk dibaca. Carilah seluas – luas ilmu agar cakrawalamu terbentang tanpa batas.

Pembelajaran juga tidak hanya dilakukan dengan hanya di dalam kelas dan duduk dengar catat hapal saja. Saya akan minta mereka mementaskan ulang bagian dimana Bung Tomo pidato berapi – api membakar semangat juang rakyat Surabya, diskusi yang terjadi dalam kongres pemuda pemuda, menuliskan surat – surat yang pernah ditulis Ibu kita Kartini dan lain – lain. Mereka saya ajak juga untuk mengunjungi museum, bertemu dengan tokoh saksi sejarah dan situs dimana sejarah ditorehkan. Mereka juga diminta memainkan juga beberapa lagu dan puisi yang terkait yang tidak hanya melulu Chairil Anwar dan Ismail Marzuki, tapi darah juang sampai puisi-nya Widji Tukul. Ingatlah sejarah itu bukan kumpulan tanggal dan nama orang yang harus dihapal untuk memperoleh nilai bagus. Tapi dengan sejarah mereka bisa belajar kesalahan bangsa ini dan tidak mengulanginya lagi. Karena sejarah akan terus berulang.

Selain itu sebagai seorang pendidik, saya akan mendorong murid – murid saya untuk mengimplementasikan apa – apa yang dipelajari di dalam kelas. Mengadakan pentas seni, demo kecil – kecilan serta serangakaian tindakan nyata akan terus didorong. Dari mulai gerakan mengumpulkan koin untuk pendidikan, buku dan baju bekas untuk yang tidak mampu, mengajukan suara pembaca di televisi dan koran – koran serta aksi – aksi nyata lain yang bisa dilakukan. Saya ingatkan kepada murid – murid saya, saya sedang mendidik kamu bukan mengajar kamu. Yang berubah tidak hanya fikiran dan rasa saja, tapi juga perilaku. Tapi saya tidak akan merubah mereka, karena mereka-lah yang akan merubahnya sendiri.

Terakhir, saya tidak akan pernah pelit memberi nilai. Angka minimal 7 (tujuh) sudah ada di tangan mereka asalkan rajin mengikuti pelajaran saya. Mendapatkan angka 9 (sembilan) kalau sudah bisa menganalisis dan menawarkan solusi dengan data yang akurat serta metode yang tepat. Dan mereka akan mendapatkan nilai 10 (sepuluh) kalau sudah bisa membuat sebuah perubahan, sekecil apa pun perubahan itu. Dan semua proses ujian dilakukan secara open book, boleh melihat buku sepuas – puasnya ; tidak perlu menghapal karena sejarah bukan untuk dihapal.

Kalau ada yang nyinyir melihat cara saya mengajar, mari kita buktikan cara siapa yang lebih mengena, karena selama ini pelajaran sejarah seperti sejarah itu sendiri : masa lalu yang harus dilupakan. Kalau ada yang geleng – geleng kepala melihat bagaimana memberi nilai, biarlah mereka mendapatkan nilai yang bagus di kelas, toh di masyarakat nanti mereka akan tahu nilai berapa yang mereka layak dapatkan sebagai bentuk pertanggungjawaban atas semua yang mereka pelajari. Biarlah waktu yang membuktikan. Dan kalau ada yang tertawa melihat semua tulisan ini, silahkan membuat tulisan yang memang membuat tulisan saya layak untuk ditertawakan.

Anak Guru Yang Tidak Mau Jadi Guru





oleh : hasan abadi kamil

Aku adalah seorang anak guru. Walau pun Bapak profesinya sebagai guru, aku tidak pernah bercita – cita menjadi guru. Aku fikir masih ada pekerjaan lain yang lebih baik dari pekerjaan ini. Aku tahu menjadi seorang guru itu banyak sekali manfaatnya, mendidik orang; menjadikan orang yang tidak tahu apa – apa menjadi tahu sesuatu. Namun untuk menjadi bermanfaat aku fikir masih ada cara lain.

Seseorang yang mulai menetapkan hati di sini harus menerima kenyataan hidup dalam keprihatinan. Karena apa – apa yang diterima setiap tanggal 5 (lima) setiap bulannya tidak mencukupi. Kami tidak pernah berfikir untuk mempunyai sesuatu atau membeli barang baru, karena untuk sehari – hari saja, Ibu harus gali lubang tutup lubang.

Beruntunglah anak – anak Bapak dikarunia kecerdasaan yang cukup sehingga bisa mengenyam pendidikan di sekolah negeri, sehingga biayanya tidak terlalu berat.”Kalau masuk sekolah di swasta Bapak enggak bisa membiayai.” Begitu omongan Bapak setiap anaknya mau lulus sekolah dan naik ke jenjang berikutnya. Prestasi anak – anaknya di sekolah pun mampu membuat Bapak dan Ibu bangga, dan orang – orang di sekitanya menghargainya walau pun secara materi tidak bisa dibanggakan.

Untuk fasilitas berupa perumahan atau beras kantoran setali tiga uang dengan gaji bulannya. Kami bertahun – tahun hidup di rumah dinas yang kualitasnya kurang baik. Bangunannya mudah sekali rusak dan harus berdesak – desakan karena begitu kecilnya seperti keluarga kelinci.

Begitu juga dengan berasnya. Kata Ibu beras kantorannya cukup lumayan ketika menterinya dijabat oleh Bustanil Arifin. Setelah beliau diganti oleh Ibrahim Hasan jauh dari layak. Selain pera juga kotor. Ibu harus mencuci ekstra dan mencampur dengan beberapa gelas beras yang bagus agar beras kantoran tersebut bisa kami makan.

Menjadi seorang guru harus penuh dengan keikhlasan dan kejujuran. Kedua hal ini yang terasa berat. Kalau semuanya menghimpit sampaibegitu sesak, maka tak ada lagi bersisa. Kalau tidak tahan seorang guru bisa mengambil jalan pintas. Baik itu kecil – kecilan maupun kelas kakap. Mulai dari mewajibkan bayar biaya gandaan bahan ajar, bonus dari penerbit karena ”mewajibkan” buku teks ke murid – murid, mengambil kelebihan uang seragam sampai menyunat uang bangunan. Alhamdulillah, aku yakin Bapakku tidak ikut – ikutan seperti itu. Kalau memang iya, kami tidak hidup seperti ini.

Kini setelah anak – anak Bapak dan Ibu menjadi orang, mereka bisa menempati rumah sendiri setelah menjalani pindah – pindah rumah sebanyak 14 kali dalam hidupnya. Dan semua ini berkat anak – anaknya.”Serasa mimpi, kita punya rumah.” Begitu kira – kira ucapan Ibu ketika menempati rumah miliknya sendiri. Kini mereka bisa tenang di sisa akhir hidupnya.

Memang benar seorang guru itu disebut pahlawan tanpa tanda jasa. Bahkan lebih tepatnya adalah pahlawan yang terlupakan. Bagi mereka sudah cukup senang dan bangga kalau mengetahui ada anak – anak muridnya yang bisa menjadi orang dan mencapai pangkat tinggi. Tak pernah terlintas untuk meminta ”imbalan” atas semua jasanya.

Mereka disebut pahlawan karena yang ada dalam genggaman mereka adalah nasib bangsa ini. Bangsa yang lebih baik esok ditentukan oleh kualitas anak – anaknya sekarang. Kalau para guru tidak bisa hidup layak sehingga tidak bisa mengabdi sepenuhnya, ditakutkan kualitas anak – anak sekarang memperihatinkan dan menghasilkan bangsa yang memprihatinkan.

Menjadi guru memang sebuah pengabdian, akan tetapi bukan berarti tidak bisa hidup semestinya; yang membuat aku sang anak guru memilih untuk tidak mengikuti jejak Bapak. Buat Bapak, para guru mudah – mudahan semua pengabdian kalian dibalas setimpal oleh Alloh di surga nanti. Dan mudah – mudahan profesi ini bisa menjadi profesi yang lebih layak sebagai pilihan hidup.