Monday, June 7, 2010

Haji Gusur

oleh : hasan abadi kamil

Kalau dari silsilah saya merupakan "campuran" dua suku. Bapak Sunda, Emak Betawi. Walau pun lahir di daerah Subang, namun sebagian besar hidup saya dibesarkan oleh sosio-kultural Betawi di daerah Bekasi.


Bekasi yang merupakan daerah penyangga Jakarta, memiliki perbedaan walau pun sama-sama kultur Betawi. Bahasa kerennya kalau betawi di Jakarta disebut betawi pusat sedangkan yang di pinggiran Jakarta disebut betawi pinggiran.


Kalau diperhatikan ada perbedaan kosa kata dan dialek antara pusat dan pinggiran. Untuk betawi pusat biasanya bicaranya banyak diakhiri oleh bunyi "e". Kalau betawi pinggiran tidak melulu diakhiri bunyi "e". Apalagi untuk daerah Cikarang sudah ada tambahan kosa kata yang berasal dari Bahasa Sunda.

bahasa indonesia              betawi pusat                  betawi pinggiran
bapak                                  babeh                              baba
ibu                                       nyak                               emak
kesenian lenong                     lenong                            topeng
saya                                   aye, gue                          saya, gua

Orang Betawi sebenarnya agamis (baca Islam). Ini bisa dilihat dari upacara pernikahan dan khitanan. Maka tak heran kalau seseorang sekaliber M. Natsir pernah berkata, jarang sekali ditemukan orang betawi beragama di luar agama Islam.


Salah satu cita-cita orang Islam adalah menunaikan rukun Islam yang ke-5, pergi haji , menjadi tamu Alloh di Mekkah. Ini juga merupakan impian orang-orang betawi. Maka tak heran kalau ada seorang pelawak dari group Limau pada audisi API di TPI salah satu cita-citanya, kalau menang kontes, adalah memberangkatkan kedua orang tuanya untuk pergi haji.



Dalam rangka naik haji, salah satu caranya adalah dengan menjual banda (harta) yaitu tanah (kalau yang punya tanah).



Pada tahun 80-an sampai 90 awal, seiring berkembangnya kota Jakarta maka dibutuhkan daerah industri dan perumahan di pinggiran Jakarta. Diliriklah daerah sekitar Tangerang dan Bekasi. Maka di saat itu banyak bermunculan Haji Gusur. Yaitu orang yang menunaikan ibadah haji karena setelah mendapatkan biaya penggantian penggusuran. Makanya dalam ceramah-ceramah ratiban orang yang mau pergi haji, Pak Ustad selalu menekankan ada tiga surat yang diperlukan untuk naik haji. Satu surat al-fatihah, kedua surat al-baqarah dan yang ketiga adalah surat tanah.



Dalam menunaikan ibadah ini mereka tidak berfikir setelah pulang dari Mekkah mau ngapain, soalnya kebun dan sawahnyasudah digusur dan duitnya sudah habis untuk naik haji. Biasanya dengan mantap mereka berkata, tidak ada yang miskin karena pergi haji (walau pun sawah ladangnya sudah berubah menjadi perumahan dan industri). Semangat beragama-nya lah yang menjawab ini.



Engkong dan nenek saya termasuk dalam angkatan haji gusur, sedangkan emak bapak saya sudah tidak termasuk lagi. Karena sudah tidak ada lagi sawah dan kebun yang bisa dijual untuk naik haji.



Seiring beralihnya tanah-tanah dari pribumi ke pendatang maka seharusnya bergeser pula cara mendapatkan biaya untuk menunaikan haji. Seiring perkembangan zaman maka orang-orang betawi harus bisa menyesuaikan juga dengan perubahan zaman, ikut dalam kemajuan pembangunan dan ekonomi. Jangan hanya menjadi penonton kesuksesan orang lain. Pergi hajinya tetap ada, tetapi cara mencapainya bisa berbeda, asal halal. Setelah era haji gusur berakhir maka digantikan dengan haji biaya sendiri, haji karena nabung , haji karena keuntungan usaha dan lain-lain.


epilog
#1
Teman saya, seorang supir, mempunyai seorang boss, yang kebetulan bukan orang betawi. Sambil menyetir dia mendengarkan "suara" majikannya. "Lihat orang betawi kerjanya cuma nongkrong-nongkrong saja. Bagaimana bisa maju."
Teman saya hanya terdiam.
#2
Kebetulan abang saya ada yang kerja di Pertamina karena dia tukang insinyur. Dia mempunyai supir di kantor yang sama-sama orang betawi. Dia tampak bangga ketika ada orang betawi bisa masuk pertamina lewat jalur insinyur bukan supir seperti dia. Dia cuma bilang, coba bapak saya semaju pikiran bapak. mungkin saya tidak jadi supir.
#3
Dulu pas kuliah di Bandung saya ketemu dengan seorang pemuda dari Gabus (masih kabupaten Bekasi, dari Tambun  ngalor terus lewat kampung Siluman, terus aja jangan belok-belok nah nanti juga ketemu). Dia tidak percaya kalau saya bisa kuliah negeri di Bandung. Dia fikir saya anak lurah dan pake duit pelicin. (lurah dari Hong Kong. Bapak Kita mah cuma guru SD. Tahu sendiri kan gaji guru berapa)

catatan :
kalau dirasa ada subyektifitas yang kental, mohon dimaafkan karena ini bukan tulisan ilmiah yang melalui riset mendalam dan didukung data yang penuh. Ini hanya tulisan sejauh pandangan mata saya.(yang bisa aja kelilipan)

4 comments:

  1. Hehehe, untuk epilog #3, harusnya temenmu nyadar mengenai kualitas otakmu san. Sama persis seperti aku. Waktu sma saya peringkat 10 besar.. tapi 10 besar dari bawah. Sering ketiduran di kelas. Trus masuk ITB. Bahkan sampe ada yg sumpah kalo saya gak mungkin masuk ITB. Hehehe.

    ReplyDelete
  2. hahaha...ternyata kita senasib sepanggungan. Tapi aku salut sama kamu Jay, masih mau ambil S2. Serius.

    ReplyDelete
  3. hahaha.. tulisan elo lucu2 San... sukses yaaa.. jangan malu jadi orang Bekasi eh betawi..

    ReplyDelete
  4. Makasih Ry. Jarang gw dikunjungi pejabat teras bank plat merah :)

    ReplyDelete