Sunday, January 14, 2018

Kita Bukan Tuhan

Kita memang suka 'memvonis' masa depan seseorang. Berdasarkan satu dua informasi di masa kini dengan mudahnya kita menebak nasib seseorang di kemudian hari. Padahal kita bukan Tuhan. Misalnya ketika saya mempunyai seorang teman yang super diam abis, maka saya sudah menebak dia ke depannya bagaimana. Dia mungkin akan kesulitan mendapatkan jodoh dan pekerjaan. Karena kedua hal ini membutuhkan kemampuan bicara alias tidak bisa diam - diam saja.

Waktu itu bagaimana saya tidak berfikiran yang macam-macam tentang dia
karena orangnya mirip kentongan (maksudnya sifatnya, bukan bentuknya seperti kentongan he he he). Kentongan hanya berbunyi kalau dipukul. Teman saya ini baru ngomong kalau ditanya. Itu juga pelan suaranya. Kalau ditanya maka dia cukup menjawab "YA" atau "TIDAK". Kalau bisa sesedikit mungkin dia untuk berbicara.

Dia lebih memilih untuk menggunakan bentuk komunikasi lain selain berbicara. Makanya kami sering menjumpai komentar dia di buku komunikasi himpunan dan mailing list (kalau mendengar istilah mailing list pasti tahu kan saya bukan kids zaman now).

Pernah ada kejadian lucu. Ketika masa penerimaan anggota himpunan, kami harus berkumpul jam enam pagi teng di depan himpunan setiap dua minggu sekali. Kalau ada satu peserta telat maka semua peserta akan kena hukum. Kesalahan satu orang akan ditanggung oleh semua orang. Karena tidak mau menjadi penyebab kesusahan orang banyak, kami semua berusaha untuk datang tepat waktu. Termasuk teman saya ini.

Agar esok pagi tidak bangun kesiangan, teman saya ini minta dibangunkan sebelum jam enam pagi. Dia menuliskan permintaannya ini di atas kertas post it sebagai berikut : Dri, tolong bangunkan saya sebelum jam enam. Dan pesan itu ditempelkan di pintu kamar temannya.

Ternyata teman saya ini bangun kesiangan. Dia pun marah kepada temannya karena tidak membangunkan sesuai permintaan (ternyata bisa marah juga ya). "Kenapa saya enggak dibangunin?"Tanyanya.
"Sudah Gi, kamu sudah saya bangunin," Jawab temannya."Saya sudah tulis di kertas di pintu kamar kamu. Gi, bangun Gi."
Temannya ngerjain dia begitu agar dia mau lebih banyak berbicara ke sesama.

Waktu dia mengerjakan pun tugas akhir membuat kami geleng-geleng kepala. Dia memilih pembimbing yang super diamnya sama dengan dia. Kami bertanya-tanya bagaimana komunikasi diantara mereka berdua. Keduanya sama-sama seperti kentongan. Kalau dua kentongan berkumpul apakah saling memukul agar bisa berbunyi? Dan sepertinya hanya mereka dan Tuhan dan tahu apa yang mereka bicarakan. Dan ajaibnya, tugas akhirnya terselesaikan dan teman saya bisa lulus kuliah juga. Ajaib memang. Dan setelah lulus saya dan teman saya ini pun tidak pernah bertemu lagi. Sampai satu ketika.

Suatu ketika kami berkumpul dalam sebuah acara temu alumni sekaligus kongres organisasi alumni kami. Saya pun bertemu dengan dia. Sepintas tidak ada yang berubah. Dia masih seperti ketika kuliah, tetapi sudah memiliki pekerjaan dan menggandeng calon istri. Widih Berani sekali dia memamerkan calon istrinya he he he.

Singkat kata dia pun menikah dan memiliki anak. Saya dan teman-teman bertanya-tanya dalam hati dan luar hati: bagaimana cara bikin anaknya? Masak mau diem-dieman aja? Walau pun kita tidak tahu bagaimana komunikasinya yang pasti dia sudah terbukti tokcer bisa menjalin kerja sama dengan istrinya. Anak-anaknya sebagai buktinya. Tidak peduli kami, teman-temannya yang kurang kerjaan dan kurang piknik,  terus bertanya tanpa memperoleh jawaban pasti bagaimana hal itu terjadi.

Dengan segala kondisi dia seperti itu, ternyata teman saya bisa survive dalam hidup ini (ceile). Dia bisa memperoleh pekerjaan, dia bisa mendapatkan istri dan mempunyai keturunan. Memang akan ada pertanyaan yang muncul dalam hati : kok bisa ya? Memang kita tidak boleh memvonis masa depan orang dengan hanya bermodalkan satu dua informasi di saat sekarang. Memang kemampuan dan usaha menentukan seseorang di kemudian hari. Tapi ingat masih ada Tuhan yang mengizinkan segala sesuatu itu terjadi di muka bumi. Bisa jadi dia tidak cukup dalam pandangan kita sebagai manusia, namun dia punya doa dan keinginan yang terus dipanjatkannya. Ketika Tuhan menjawab doanya dan berkehendak, maka segala keterbatasannya menjadi tiada ada artinya. Tuhan menghadirkan jalan untuk teman saya ini. Kita memang bukan Tuhan kita hanyalah hamba-Nya yang ingin agar segala keinginan kita sesuai dengan kehendak-Nya.





0 comments:

Post a Comment